Tentang

------------ Selamat datang di Blog kami yang sederhana ini ------------ SEMOGA BERMANFAAT. --- Identitas Pemilik Blog ------ Nama : Afif Fuaidi ------ Alamat Rumah : Payaman - Andonosari - Nongkojajar - Pasuruan ------ Facebook : Afif Fuaidi bin Mahfudz ------ Instagram : Apiep_5 (Afif Fuaidi) ---

Sabtu, 12 Februari 2011

Kedudukan Hadits dalam Islam

KEDUDUKAN HADITS DALAM ISLAM

1. Hadits Sebagai Sumber Hukum ke-2

Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan Al-Hadits menjadi asas perundang-undangan setelah Al-Qur’an. Perbendaharaan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an, tidak lepas dari salah satu dari tiga fungsi:

1. Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya Allah didalam Al-Qur’an mengharamkan bersaksi palsu dalam firman-Nya Q.S Al-Hajj ayat 30 “Dan jauhilah perkataan dusta.” Kemudian Nabi dengan Haditsnya menguatkan: “Perhatikan! Aku akan memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar!” Sahut kami: “Baiklah, hai Rasulullah. “Beliau meneruskan, sabdanya:”(1) Musyrik kepada Allah, (2) Menyakiti kedua orang tua.” Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: ”Awas! Berkata (bersaksi) palsu”---- dan seterusnya ---- (Riwayat Bukhari - Muslim).

2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih Mujmal, memberikan Taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Misalnya: perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan sholat, tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan jika tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah ditafshil (diterangkan secara terperinci dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh Al-Hadits). Nash-nash Al-Qur’an mengharamkan bangkai dan darah secara mutlak, dalam surat Al-Maidah Ayat 3 “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi. Dan seterusnya. “Kemudian As-sunnah mentaqyidkan kemutlakannya dan mentakhsiskan keharamannya, beserta menjelaskan macam-macam bangkai dan darah, dengan sabdanya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai, dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan bangkai belalang, sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa.”

3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan Al-Hadits semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan“ ammah (saudari bapak)-nya dan seorang wanita dengan khalal (saudari ibu)-nya.” (H.R. Bukhari - Muslim).

2. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Umat Islam telah mengakui bahwa hadits Nabi SAW itu dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam telah ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam Al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaianya dalam As-sunnah / Al-hadits. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan karena hukum dan cara pengamalannya itu benar-benar terjadi dimasa Nabi SAW. Sehingga memerlukan ijtihad perorangan maupun kelompok yang terwujud dalam bentuk ijma’ ulama atau pedoman lainnya sepanjang bertentangan dengan jiwa syariat.

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Nabi SAW. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas bai’at Mu’adz bin Jabal, seorang sahabat yang diangkat menjadi duta penuh untuk negeri Yaman, bahwa ia berpedoman kepada Al-Qur-an kemudian Al-hadits / As-sunnah, dan akhirnya ijtihadnya sendiri, sebagaimana Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Disamping itu Allah telah memerintahkan kepada umat Islam agar mentaati Rasul-Nya sebagaimana mentaati Allah sendiri, dan berpegang teguh kepada apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya sebagaimana Firman-Nya dalam Q.S. al-Hasyr : 7 “Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu terimalah dan jalankanlah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul, maka tinggalkanlah.”

Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat tersebut dapat dibaca dalam Q.S Ali Imran ayat 31, Al-Ahzab ayat 21, Al-Nisa’ ayat 64 dan sebagainya.

Nabi sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa disamping Al-Qur’an, juga masih terdapat pedoman yang sejenis dengan Al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan. Sebagaimana sabda Beliau yang artinya: “Wahai umatku, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang menyamainya.” (H.R. Abdu Dawud, Ahmad dan At-Turmudzi). Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) Al-Qur’an itu adalah As-Sunnah / Al-Hadist, yang merupakan pedoman untuk diamalkan dan ditaati sejajar dengan Al-Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an.

Mengapa tingkatan / kedudukan As-sunnah / Al-hadist berada dibawah tingkatan Al-Qur’an? Dalam hal ini As-Syathibi memberikan argumentasi, bahwa:

(1) Al-Qur’an diterima secara Qath’i (meyakinkan), sedangkan Hadist diterima secara Dhanni, kecuali Hadist Mutawattir. Keyakinan kita kepada Hadist hanyalah secara global, bukan secara detail (Tafshili), sedangkan Al-Qur’an, baik secara global maupun secara detail, diterima secara meyakinkan.

(2) Hadist adakalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-Qur’an, adakalanya memberi komentar terhadap Al-Qur’an, dan adakalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan dalam Al-Qur’an. Jika hadist itu berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap Al-Qur’an, maka sudah barang tentu keadaannya (statusnya) tidak sama dengan derajat pokok yang diberi penjelasan / komentar yang pokok (Al-Qur’an) pasti lebih utama daripada yang memberi komentar (Al-Hadits).

(3) Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut yakni Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an sebagaimana dialog Nabi SAW dengan Mua’adz bin Jabal.

Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah bahwa posisi As-Sunnah / Al-Hadits itu berada dibawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Dengan demikian Al-Qur’an Qath’iyyul Wurud, baik secara global (Ijmali) maupun terperinci (Tafshili). Sedangkan Hadits / As-Sunnah sampai kepada umat Islam tidak semuannya Mutawattir, tetapi kebanyakan diterima secara Ahad, kebenarannya Qath’i secara global (Ijmali) dan Dzanni secara rinciannya, karena masih banyak Hadits yang tidak sampai kepada umat Islam, disamping banyak pula Hadits-hadits Dlaif.

3. Perbedaan Hadits Qudsi dan Al-Qur’an

Rasulullah kadang kala menyampaikan pelajaran atau memberi nasehat, yang dihikayatkan / diceritakan dari Tuhannya, Kepada para sahabatnya. Pelajaran-pelajaran itu bukan merupakan wahyu yang diturunkan sebagaimana Al-Qur’an dan bukan merupakan perkataan yang jelas-jelas disandarkan secara langsung kepada dirinya, sebagaimana Hadits pada umumnya. Tetapi pelajaran-pelajaran itu merupakan Hadits-hadits yang diungkapkan oleh Nabi dengan ungkapan yang dinisbatkan kepada Allah, untuk memberi isyarat bahwa amalannya yang utama itu diceritakan dari Allah dengan Uslub (susunan kalimat) yang pada lahiriyahnya benar-benar berbeda dengan Uslub Al-Qur’an. Disamping itu amalan tersebut merupakan pemberian atau hembusan dari alam kesucian, cahaya dari alam ghaib dan anugerah dari Yang Maha Mulia lagi dimulyakan.

Jadi Hadits Qudsi atau Hadits Rabbany atau Hadits Illahi, ialah: “Sesuatu yang dikabarkan Allah ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata Beliau sendiri.”

Adapun bentuk kalimat (Shighat) yang biasa dipakai oleh Ulama Salaf dalam periwayatan Hadits-hadits Qudsi, adalah “Qaala Rasulullah SAW : Fiima Yurwa’an Rabbihi” (Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Tuhannya). Sedangkan Ulama’ Khalaf memiliki cara tersendiri yaitu “Qaalallahu Ta’la Fiima Rawaahu’anhu Rasulullah SAW.” (Allah berfirman sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dari Tuhan).

Perbedaan antara keduanya, menurut Dr. Syu’ban Muhammad Ismail, adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an tiada lain hanyalah wahyu Jaly, yakni Al-Qur’an itu diturunkan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi SAW. yang berada dalam kondisi sadar, dan tidak ada ayat Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Beliau melalui ilham atau impian. Sedangkan Hadits Qudsi bisa diwahyukan melalui Wahyu Jaly atau Wahyu Khafy (melalui impian dan ilham).

2. Al-Qur’an merupakan mu’jizat sehingga tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya (Q.S. al-Isra’ : 88), dan ia terjaga dari perubahaan dan pengganti atau terpelihara kemurniannya, karena dijaga oleh Allah, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Hijr ayat 9 “Sesungguhnya telah Kami turunkan peringatan (Qur’an) dan sesungguhnya Kami memeliharanya.” Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.

3. Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur’an, tidak berlaku bagi Al-Hadist, seperti pantangan menyentuhnya bagi orang yang berhadast dan bagi orang yang junub dilarang menyentuh dan membacanya. Sedangkan Hadist Qudsi tidak ada pantangannya.

4. Bagian-bagian Al-Qur’an disebut dengan ayat dan surat, sedangkan Hadist-hadist Qudsi tidak demikian.

5. Al-Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat, dan tidak sah shalat seseorang (yang mampu membacanya) bila tidak membaca Al-Qur’an. Sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian.

6. Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah, baik mengerti ataupun tidak memahami artinya, dan diberi pahala bagi pembacanya. Sedang Hadist Qudsi tidak demikian.

7. Tidak diperbolehkan meriwayatkan Al-Qur’an dengan maknanya saja (Riwayat Bil Makna), sedang Hadist Qudsi tidak demikian.

8. Al-Qur’an dinukilkan kepada kita dengan jalan Mutawatir dari Nabi SAW, sedang Hadist Qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar