ANALISIS EKONOMI
Investasi dalam aktiva
keuangan dapat berupa investasi langsung maupun investasi tidak langsung.
Investasi aktiva langsung dapat dilakukan dengan pembelian langsung
aktiva keuangan suatu perusahaan. Sedangkan investasi tidak langsung dilakukan
dengan membeli saham (surat-surat berharga) dari perusahaan investasi yang
diperdagangkan di pasar modal. Beberapa penulis memberikan sumbangan pemikiran
terhadap model dalam menganalisis dan menilai saham dengan istilah yang
beragam; Karen (1971) menyebut dengan istilah a flow diagram of stock
price determination; Husnan (1998) menyebut dengan analisis teknikal;
sedangkan Sharpe, Alexander dan Bailey (1999) menyebut dengan istilah the
big picture. Dari ketiga analisis tersebut, secara umum bahwa untuk
menganalisis dan menilai harga saham dapat dilakukan dengan memperhatikan
kondisi ekonomi atau kondisi pasar yang terdiri dari variabel makroekonomi
maupun kondisi spesifik perusahaan.
Indikator ekonomi adalah salah satu faktor yang
tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian penting dari keseluruhan faktor
fundamental itu sendiri. Indikator yang berupa Informasi-informasi kondisi
makro ekonomi diperlukan investor untuk melakukan investasi. Kondisi makro
ekonomi secara keseluruhan akan mempengaruhi kegiatan ekonomi masyarakat,
pengusaha dan investor. Kondisi makro ekonomi yang baik akan menciptakan iklim
investasi yang baik. Beberapa variabel ekonomi nasional yang biasanya digunakan
adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari Produk Domestik
Bruto, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar rupiah.
Analisis ekonomi perlu dilakukan karena adanya
kecenderungan hubungan yang kuat antara apa yang terjadi pada lingkungan
ekonomi makro dengan kinerja suatu pasar modal. Perubahan kinerja pasar modal
akan mencerminkan apa yang terjadi pada perubahan perekonomian makro. Perubahan
kinerja pasar modal tidak bisa dipisahkan dengan perubahan yang terjadi pada
prospek yang berbagai perusahaan yang ada di pasar yang selanjutnya bisa
mempengaruhi aliran kas yang bisa diperoleh dari suatu perusahaan di masa
datang. Dengan demikian, jika ingin mengestimasi aliran kas, bunga atau premi
risiko dari suatu sekuritas maka kita harus mempertimbangkan analisis ekonomi
makro.
Produk Domestik Bruto
Produksi domestik bruto (PDB) adalah penjumlahan
seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara baik oleh perusahaan
dalam negeri maupun oleh perusahaan asing yang beroperasi di dalam negara
tersebut pada suatu waktu/ periode tertentu. Pengertian lain dari PDB yang
sering disebut juga Produk nasional bruto (PNB) adalah total produksi barang
dan jasa yang diproduksi oleh penduduk negara tersebut baik yang bertempat
tinggal/ berdomisili di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri dalam
suatu periode tertentu.
Kaitan dengan analisis sekuritas dan pertumbuhan
investasi dapat dijelaskan, pertama pertumbuhan investasi di suatu negara akan
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kedua, semakin baik
tingkat perekonomian suatu negara, maka semakin baik pula tingkat kemakmuran
penduduknya. Tingkat kemakmuran yang lebih tinggi ini umumnya ditandai dengan
adanya kenaikan tingkat pendapatan masyarakatnya. Ketiga, dengan adanya
peningkatan pendapatan tersebut, maka akan semakin banyak orang yang memiliki
kelebihan dana, kelebihan dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk disimpan dalam
bentuk tabungan atau diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga yang
diperdagangkan dalam pasar modal.
Tingkat inflasi
Inflasi merupakan suatu indikator ekonomi makro
yang menggambarkan kenaikan harga-harga barang dan jasa dalam suatu periode
tertentu. Bagi sebuah negara, keadaan perekonomian yang baik umumnya diwakili
dengan tingkat inflasi yang relatif rendah dan terkendali. Penggunaan tingkat
inflasi sebagai salah satu indikator fundamental ekonomi adalah untuk
mencerminkan tingkat PDB dan PNB ke dalam nilai yang sebenarnya. Nilai PDB dan PNB
riil merupakan indikator yang sangat penting bagi seorang investor
dalam membandingkan peluang dan resiko investasinya di mancanegara.
Indikator-indikator
inflasi yang biasanya digunakan oleh para investor antar lain:
·
Indeks harga produksi atau Producer Price Index
(PPI) adalah indeks yang mengukur rata-rata perubahan harga yang diterima
oleh produsen domestik untuk setiap output yang dihasilkan dalam setiap tingkat
proses produksi. Data PPI dikumpulkan dari berbagai sektor ekonomi terutama
dari sektor manufaktur, pertambangan, dan pertanian.
·
Indeks harga konsumen atau Consumer Price Index
(CPI) adalah digunakan untuk mengukur rata-rata perubahan harga eceran dari
sekelompok barang dan jasa tertentu. Index CPI dan PPI digunakan oleh seorang
Trader sebagai indikator untuk mengukur tingkat inflasi yang terjadi.
·
Neraca pembayaran atau balance of payment
adalah suatu neraca yang terdiri dari keseluruhan aktivitas transaksi
perekonomian internasional suatu negara, baik yang
bersifat komersial maupun finansial, dengan negara lain pada suatu periode
tertentu. Neraca pembayaran ini mencerminkan seluruh transaksi antara penduduk,
pemerintah,
dan pengusaha dalam negeri dan pihak luar negeri, seperti transaksi ekspor dan
impor, investasi
portofolio,
transaksi antar Bank Sentral, dan lain-lain. Dengan adanya neraca
pembayaran ini kita mengetahui kapan suatu negara mengalami surplus maupun
defisit. Secara garis besar Balance of
Payment dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
o
Neraca Perdagangan yang merupakan selisih antara total
ekspor dan impor barang, jasa, dan transfer. Dalam perhitungannya, neraca
perdagangan ini tidak mencakup transaksi-transaksi asset finansial dan
kewajiban (hutang). Data ini merupakan indikator tren perdagangan luar negeri
yang merupakan aliran bersih dari total ekspor
dan impor barang dan jasa sebagai penerimaan atau
penghasilan. Dengan adanya transaksi ekspor maka akan diterima sejumlah uang
yang nantinya akan menambah permintaan terhadap mata uang negara eksportir.
Begitu pula sebaliknya pada impor barang dan jasa dimana sejumlah uang harus
dikeluarkan guna membayar barang dan jasa yang diimpor, hal ini akan menambah
penawaran akan mata uang negara importir.
o
Aliran Modal yaitu investasi langsung dan investasi
tidak langsung, dimana pada investasi langsung, investor dari luar negeri
melakukan penanaman modal dalam aset riil misalnya saja membangun pabrik,
gedung perkantoran dan lain-lain. Investasi ini biasanya bersifat jangka
panjang. Sedangkan investasi tidak langsung dapat ditemui di dalam investasi
instrument keuangan. Misalnya seorang investor melakukan pembelian saham atau
obligasi di bursa Indonesia. Maka investor tersebut harus menukarkan mata
uangnya ke rupiah supaya dapat membeli saham ataupun obligasi di Indonesia.
·
Tingkat pengangguran adalah suatu indikator yang
dapat memberikan gambaran tentang kondisi rill berbagai sektor ekonomi.
Indikator ini dapat dijadikan alat untuk menganalisa sehat/tidaknya perekonomian
suatu negara. Apabila perekonomian berada dalam kondisi baik maka akan tercapai
tingkat pengangguran yang rendah. Tetapi jika perekonomian dalam keadaan lesu
maka tingkat pengangguran pun meningkat.
·
Kurs valuta
asing adalah nilai perbandingan atau bisa juga disebut nilai
tukar antara suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs ini biasanya
digunakan sebagai indikator utama untuk melihat kekuatan ekonomi ataupun
tingkat kestabilan perekonomian suatu negara. Jika kurs mata uang negara
tersebut tidak stabil maka dapat dikatakan bahwa perekonomian negara tersebut
tidak baik atau sedang mengalami krisis ekonomi. Untuk itu perlu bagi suatu negara
untuk memiliki mata uang yang stabil agar perekonomian negara tersebut dapat
berjalan dengan lancar dan membentuk suatu tren pertumbuhan.
·
PSNCR - Public
Sector Net Cash Requirement atau kebutuhan tunai sektor publik yaitu jumlah
uang yang harus dipinjam pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
Sebab pemerintah kerapkali mengeluarkan lebih dari yang mereka terima dari
penerimaan pajak, dan satu-satunya cara untuk menambah kekurangannya adalah
dari meminjam.
Teori yang dapat menjelaskan
fenomena hubungan tingkat inflasi dan return saham pada khususnya dan pasar
modal pada umumnya tidak berdasar hanya pada satu sisi. Minimal ada tiga teori
yang dapat menjelaskan fenomena hubungan tersebut :
1) teori
makroekonomi yang dipelopori oleh Fama (1981:545) disatu kubu dan teori Geske
dan Roll (1983:856) di kubu lain. Dua teori ini ikut mempertimbangkan pengaruh
variabel ekonomi riil seperti Gross
Domestic Product (GDP), jumlah uang beredar, tingkat harga umum, tingkat
bunga dan pajak;
Saham merupakan klaim terhadap cash
flows yang dihasilkan dari aset riil. Investasi saham menghasilkan returns yang
dihitung dari selisih harga pada dua titik waktu yang berbeda dan deviden.
Apabila pasar modal efisien, maka ada hubungan antara return saham dengan
variabel ekonomi riil (Fama, 1991:1609). Ada dua teori makroekonomi yang
menjelaskan tentang korelasi harga saham dengan tingkat inflasi, yaitu teori
yang dipelopori oleh Eugene F. Fama (1981:545) dan teori Geske dan Roll
(1983:856). Kedua teori tersebut menyatakan bahwa harga saham adalah indikator
yang baik tentang aktivitas ekonomi riil, sehingga return saham dapat digunakan
untuk memprediksi pertumbuhan Gross
Domestic Product (GDP) riil, kinerja industri, corporate earnings dan employment.
Teori makroekonomi yang dipelopori
oleh Fama (1981:545) mengajukan suatu proposisi bahwa hubungan negatif antara
return saham dan tingkat inflasi adalah karena faktor permintaan uang. Dengan
menggunakan teori permintaan uang tradisional, Fama mengklaim bahwa jika anticipated GDP rendah berarti ex ante stock riil return rendah. Dengan
tingkat penawaran uang yang tetap, anticipated
GDP yang rendah ini menyebabkan tingkat harga umum cenderung naik atau inflasi.
Jadi menurut Fama, penurunan ex ante
stock riil return adalah suatu tanda penurunan GDP. Jika jumlah uang beredar
cenderung tetap maka akan mengakibatkan kenaikan tingkat inflasi.
Geske dan Roll (1983:856) melihat hubungan antara return
saham dan tingkat inflasi berdasarkan penawaran uang. Prinsip model Geske-Roll
adalah bahwa penurunan anticipated
GDP yang berarti penurunan ex ante
stock riil return dapat mengakibatkan penurunan penerimaan pajak. Jika tingkat
pengeluaran pemerintah tetap, penurunan penerimaan pajak ini akan mengakibatkan
kenaikan defisit anggaran yang berakibat pada inflasi. Hal ini karena
pemerintah akan melakukan hutang untuk menutup defisit anggaran.
2) teori
Fisher tentang tingkat bunga yang diaplikasikan pada saham sebagai aset yang
beresiko, dikembangkan oleh Jaffe dan Mandelker (1976:447);
Irving Fisher mengemukakan bahwa
tingkat bunga bisa diuraikan menjadi tingkat bunga riil dan premi resiko
inflasi. Berdasarkan asumsi rasionalitas, orang juga akan menghendaki hal yang
sama pada return lainnya, atau berlakunya generalisasi Fisher Effect pada semua
aset. Jaffe dan Mandelker (1976:450) menyebut hal ini sebagai Generalized
Fisher Effect. Jaffe dan Mandelker menguji Fisher Hypothesis pada saham sebagai
aset yang beresiko, hal yang sama dilakukan pula oleh Nelson (1976:471) dan
Firth (1979:743). Asumsi yang digunakan Jaffe dan Mandelker dalam menentukan anticipated inflation adalah menggunakan
Markov Inflationary Expectation dengan beberapa modifikasi.
3) teori
yang dikembangkan oleh Bodie (1976:459) yang menganggap bahwa saham seharusnya
dapat digunakan sebagai hedge terhadap inflasi.
Masing-masing teori telah dibuktikan secara empirik terutama di negara maju yang memiliki pasar modal mapan.
Masing-masing teori telah dibuktikan secara empirik terutama di negara maju yang memiliki pasar modal mapan.
Telaah teori
mengungkapkan bahwa inflasi akan cenderung meningkatkan biaya produksi dari
perusahaan. Berarti margin keuntungan dari perusahaan menjadi lebih rendah dan
dampak lebih lanjut menjadikan harga sahamnya di bursa efek menjadi menurun.
Jika terjadi demikian, maka penurunan tersebut cenderung tidak akan berlangsung
seketika tetapi melalui proses waktu. Dilihat dari sisi investor, tingginya
inflasi akan mengurangi nilai keuntungan dan juga mengurangi daya beli modal
investasinya. Dengan demikian jika angka inflasi naik, maka IHSG akan menurun
dan demikian sebaliknya.
Secara teoretis, investasi pada saham
dapat memberikan perlindungan nilai (hedge) yang baik dari pengaruh inflasi
karena saham merupakan klaim terhadap aset-aset riil. Teori tersebut
dikemukakan antara lain oleh Bodie ("Common stocks as a hedge against
inflation", Journal of Finance, 31, 459-470, 1976) serta Fama dan Schwert
("Asset returns and inflation", Journal of Business, 55, 201-231,
1977). Berdasarkan teori tersebut, tingkat pengembalian riil dari saham
seharusnya tidak terpengaruh oleh perubahan harga-harga barang dan jasa.
Berlawanan dengan harapan dari teori
tersebut, kenyataan empiris di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi
dan tingkat pengembalian investasi pada saham berkorelasi secara negatif dalam
arti inflasi yang sangat tinggi cenderung disertai dengan tingkat pengembalian
investasi pada saham yang rendah.
Kenyataan empiris di AS pada periode 1953-1971
tersebut dikemukakan Fama ("Stock returns, real activity, inflation and
money", American Economic Review, 71, 545-565, 1981). Kenyataan empiris
yang berlawanan dengan teori tersebut dijelaskan oleh Fama (1981) dengan
menggunakan hipotesa pendekatan (proxy) yang menjelaskan bahwa karena tingkat
pengembalian investasi pada saham berkorelasi positif dengan aktivitas ekonomi
riil dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi negatif dengan perubahan
harga-harga barang dan jasa (inflasi), maka tingkat pengembalian investasi pada
saham berkorelasi negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa
tingkat pengembalian investasi pada saham lebih erat terkait dengan aktivitas
ekonomi riil daripada dengan inflasi.
Di sisi yang lain, studi yang dilakukan oleh
Spyrou ("Are stocks a good hedge against inflation? Evidence from emerging
markets", Applied Economics, 36, 41-48, 2004) menyimpulkan bahwa di
beberapa negara berkembang, selain Indonesia, kenyataan empiris menunjukkan
bahwa pada beberapa emerging stock
markets inflasi berkorelasi secara positif dengan tingkat pengembalian
investasi pada saham. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa dengan tingkat
inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham
yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004), indikasi tersebut kemungkinan
disebabkan oleh korelasi positif antara inflasi dan aktivitas ekonomi riil di
banyak emerging countries serta kemungkinan adanya keterkaitan erat antara
kebijakan moneter dengan kebijakan sektor riil di negara-negara tersebut
Penelitian
empiris di BEJ Indonesia melalui analisis regresi dengan menghubungkan secara
langsung (dirrect effect) antara inflasi dengan IHSG dalam kurun waktu
tahun 2003 sampai 2005-2006, ternyata hasilnya tidak ditemukan bukti yang
signifikan bahwa inflasi berpengaruh terhadap IHSG. Artinya penurunan IHSG
bukan karena pengaruh secara langsung dari kenaikan inflasi.
Sebagai ilustrasi, pada akhir Maret 2004,
tingkat inflasi tahunan di Indonesia adalah sebesar 5,11 persen, suatu tingkat
yang relatif rendah sepanjang sejarah inflasi di Indonesia sejak tahun 1997. Sejak
akhir Oktober 2003, IHSG telah membukukan kenaikan yang signifikan, dari level
625,55 ke level 735,68 pada akhir Maret 2004. Pada periode tersebut, tingkat
inflasi di Indonesia mulai terkendali dan berada di bawah angka enam persen.
Karena kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan, keterkaitan antara inflasi
dengan kenaikan IHSG menjadi hal yang menarik untuk dikaji.
Indonesia
sebagai salah satu negara dalam kelompok emerging countries memiliki
kaitan antara inflasi tahunan dan kinerja tahunan
indeks saham yang menarik untuk dikaji. Secara keseluruhan dalam periode
Januari 1997 hingga Maret 2004, IHSG mengalami apresiasi nilai dalam 41 dari 87
bulan yang diamati. Rata-rata tingkat pengembalian investasi pada saham dan
tingkat inflasi tahunan dalam periode tersebut adalah berturut-turut sebesar
5,78 persen dan 17 persen. Pada periode yang sama menunjukkan bahwa apresiasi
nilai IHSG melebihi laju inflasi tahunan dalam delapan dari sepuluh bulan
ketika laju inflasi berada di bawah angka empat persen. Ketika laju inflasi
tahunan berada di antara empat sampai dengan enam persen, apresiasi nilai IHSG
melebihi laju inflasi dalam 13 dari 16 bulan yang diamati. Sedangkan ketika
laju inflasi tahunan melebihi angka enam persen, apresiasi nilai IHSG hanya
melebihi laju inflasi dalam sepuluh dari 61 bulan yang diamati.
Hasil studi yang dlakukan oleh Yuki
Indrayadi, tentang kaitan antara inflasi dan kinerja IHSG dalam periode Januari
1997 sampai dengan Maret 2004 mengindikasikan bahwa dengan inflasi tahunan
sebesar 5,92 persen pada akhir bulan April 2004, investasi pada saham dapat
diharapkan untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih menarik
dibandingkan dengan penyimpanan uang di bank. Namun, perlu diingat bahwa
investasi di bursa saham adalah investasi yang mengandung riesiko, Sebagai
contoh, IHSG yang ditutup di level tertinggi baru 818,16 pada tanggal 27 April
2004 mengalami penurunan nilai sebesar 4,71 persen menjadi 779,60 dalam empat
hari perdagangan, walaupun laju inflasi masih terkendali di bawah angka enam
persen. Terlepas dari lebih sederhananya metode yang digunakan dan pendeknya
rentang data dalam studi, hasil studi ini mengindikasikan bahwa pola kinerja
bursa saham Indonesia mirip dengan pola kinerja bursa saham di Amerika Serikat
seperti yang dikemukakan oleh Fama (1981) di mana kinerja positif dari
investasi pada saham didorong oleh tingkat inflasi yang terkendali dan
meningkatnya aktivitas ekonomi riil. Terlepas dari sentimen negatif terhadap
saham-saham di BEJ yang disebabkan instabilitas politik menjelang pemilu
presiden di bulan Juli 2004, mulai pulihnya aktivitas ekonomi riil Indonesia
tampak dari membaiknya profitabilitas dari emiten-emiten di BEJ pada kuartal
pertama tahun 2004.
Namun demikian,
sekali lagi, pengaruh inflasi terhadap kinerja bursa tidak hanya dilihat
pengaruh secara langsung tetapi juga harus dilihat pengaruhnya secara tidak
langsung. Secara metodologis dikenal pengaruh secara langsung (direct effect),
pengaruh secara tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total (total
effect). Pengaruh tidak langsung dalam hal ini yaitu inflasi akan
berpengaruh pada tingginya suku bunga dan lebih lanjut suku bunga akan
berpengaruh pada kinerja bursa.
Tingkat suku bunga
Salah satu cara pemerintah dalam menanggulangi
inflasi adalah dengan melakukan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga. Tingkat
suku bunga merupakan ukuran keuntungan investasi yang dapat diperoleh oleh
investor dan juga merupakan ukuran biaya modal yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan untuk menggunakan dana dari investor. Hubungan antara tingkat bunga
dengan pergerakan harga saham adalah berlawanan. Apabila terjadi kenaikan
tingkat suku bunga, maka pergerakan harga saham akan menurun, sebaliknya
apabila terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka harga saham akan naik
(Bodie, et.al., 2002) Semakin tinggi tingkat bunga perbankan, akan menyebabkan
investor mengalihkan investasinya pada investasi di perbankan, obligasi atau
aset-aset keuangan berpendapatan tetap. Karena investor mengurangi portofolio
saham dengan melepas saham maka supplay saham di bursa saham atau pasar modal
meningkat dan selanjutnya akan menyebabkan penurunan harga saham tersebut.
Dari berbagai faktor ekonomi,
untuk saat ini suku bunga merupakan faktor kunci terhadap perkembangan Bursa
Efek Jakarta. Pada tingkat suku bunga seperti sekarang ini, merupakan level
yang sudah cukup menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya pada investasi
yang menghasilkan bunga. Dilihat dari segi risiko relatif kecil, tetapi
hasilnya yang berupa bunga sudah cukup menarik untuk dinikmati. Jika suku bunga
naik lagi maka akan cenderung terjadi pengalihan investasi dari bursa efek
kepada alternatif investasi yang menghasilkan bunga. Menariknya investasi dalam bursa saham juga
didorong oleh rendahnya suku bunga penyimpanan di perbankan. Suku bunga
penyimpanan tersebut dapat dilihat dari dua aspek, yaitu nominal dan riil. Suku
bunga penyimpanan nominal adalah suku bunga penyimpanan per tahun yang
dipublikasikan oleh bank-bank setiap harinya, sedangkan suku bunga penyimpanan
riil adalah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi pada saat yang
bersangkutan.
Secara teoretis, apabila suku bunga penyimpanan
riil di suatu negara mengalami penurunan, maka investasi di bursa saham menjadi
lebih menarik karena investor cenderung untuk mencari tingkat pengembalian yang
lebih tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarwono
(2003) menunjukkan bahwa tingkat suku bunga merupakan variabel yang mempunyai
pengaruh terhadap harga saham. Begitu pula dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Okty, (2002) yang menyebutkan bahwa faktor ekstern yang
mempunyai pengaruh besar terhadap harga saham adalah tingkat suku bunga dan
inflasiHasil penelitian empiris tentang pengaruh suku
bunga terhadap IHSG dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2004 di BEJ, terdapat bukti
yang signifikan bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap IHSG. Semakin
tinggi kenaikan suku bunga berarti akan semakin melemahkan kinerja BEJ. Angka
sensitivitasnya sekitar 0,5 berarti jika suku bunga naik 1% maka indeks harga
saham gabungan akan turun 0,5%. Sebaliknya jika suku bunga turun sebesar 1%
maka IHSG akan naik sebesar 0,5%. Perubahan lebih lanjut dari suku bunga
merupakan faktor kunci yang perlu diwaspadai. Dengan mengacu hasil penelitian
dengan angka sensitivitas 0,5, maka jika sampai terjadi suku bunga naik lagi
dari 12% menjadi 13% maka cenderung akan terjadi penurunan kinerja bursa efek
atau penurunan IHSG kembali posisi menuju 950-an. Namun demikian jika suku
bunga membaik atau turun kembali dari 12% ke posisi 11% atau lebih rendah lagi,
maka IHSG akan naik kembali menuju posisi 1.100 atau lebih tinggi lagi.
sangat bermanfaat buat saya, saya minta daftar pustaka lengkapnya boleh ? saya butuh teori seperti ini untuk penelitian saya dan saya berniat untuk membeli buku tentang teori seperti tulisan anda. terima kasih
BalasHapus