Tentang

------------ Selamat datang di Blog kami yang sederhana ini ------------ SEMOGA BERMANFAAT. --- Identitas Pemilik Blog ------ Nama : Afif Fuaidi ------ Alamat Rumah : Payaman - Andonosari - Nongkojajar - Pasuruan ------ Facebook : Afif Fuaidi bin Mahfudz ------ Instagram : Apiep_5 (Afif Fuaidi) ---

Kamis, 30 Juli 2020

Sejarah dan Perkembangan Akuntansi di Indonesia dan Dunia


Sejarah dan Perkembangan Akuntansi di Indonesia dan Dunia 

Akuntansi selama ini dianggap sebagai bahasa bisnis karena akuntansi adalah suatu alat untuk menyampaikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
Prinsipnya untuk sebuah bahasa adalah semakin baik kita mengerti bahasa tersebut maka semakin baik pula kita bisa mengelola informasi tersebut untuk menghasilkan keputusan yang baik dan semakin baik juga dalam mengelola keuangan. Untuk menyampaikan informasi tersebut maka digunakanlah yang kita kenal selama ini dengan nama laporan keuangan atau laporan akuntansi.
Laporan keuangan sendiri pada suatu perusahaan umumnya terdiri atas 4 jenis laporan, yaitu
 neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, dan laporan arus kas.
Sejarah Akuntansi Dunia
Para ahli Ekonomi berpendapat bahwa akuntansi sudah ada sejak dahulu yaitu ketika manusia melakukan transaksi dengan menggunakan uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pada tahun 1494 muncul buku berjudul “Summa de Aritmatica, Geometrica Proportioni et Propotionalita” karya dari Lucas Pacioli. Isi bukunya terdapat bab yang berjudul “Tractatus de Computies et Scriptoris” yang mengajarkan sistem pembukuan berpasangan atau sering disebut dengan sistem continental

Pengertian Sistem berpasangan adalah sistem pencatatan semua transaksi ke dalam dua bagian yakni debet dan kredit. Kedua bagian ini diatur sedemikian rupa agar selalu seimbang. Dari sistem ini maka menghasilkan pembukuan yang sistematis dan laporan keuangan yang terpadu karena bisa menggambarkan tentang laba rugi, kekayaan serta hak pemilik perusahaan.
Perkembangan sistem akuntansi kemudian diberi nama sesuai dengan nama orang yang mengembangkannya atau dari nama negaranya masing-masing.Contohnya sistem Amerika Serikat (sistem Anglo Saxon) dan sistem Belanda  (Sistem Contitental).Kemudian pada abad sekarang ini sistem akuntansi yang paling banyak digunakan yaitu Sistem Anglo Saxon dikarenakan sistem ini dapat mencatat berbagai macam transaksi, dibandingkan sistem lainnya yang cukup sulit digunakan karena memisahkan antara pembukuan dengan akuntansi. Sedangkan pada sistem Anglo Saxon pembukuan merupakan bagian dari Akuntansi.
Sejarah Akuntansi Di Indonesia
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri melalui sejarah perkembangan akuntansi ketika era penjajahan Belanda, sekitar pada tahun 1642. Rekam jejak yang bisa menjelaskan terkait dengan praktik akuntansi di Indonesia ditemukan sekitar tahun 1747 ketika ditemukan praktik pembukuan yang dijalankan oleh Amphioen Societeit yang berpusat di Jakarta. Di era penjajahan Belanda menerapkan pembukuan dengan sistem pembukuan berpasangan (double entry bookeping) sesuai dengan praktek yang dibangun Lucas Paciolo.
Dan pada tahun 1907 di Indonesia diperkenalkan sistem pemeriksaan (auditing) untuk menyusun serta mengontrol pembukuan perusahaan. namun sistem ini belum bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia sampai masa penjajahan berakhir.Di indonesia pada awalnya menganut sistem kontinental seperti sistem yang dipakai oleh Belanda. Padahal sebenarnya, sistem kontinental atau bisa juga disebut pembukuan tidak sama dengan akuntansi. Pengertian akuntansi lebih luas. Pembukuan (Bookkeeping) merupakan bagian atau elemen prosedural dari akuntansi. Perbedaan antara pembukuan dengan akuntansi adalah:
Pembukuan merupakan aktivitas proses akuntansi meliputi pencatatan, pengelompokan serta kegiatan lain yang bertujuan untuk menghasilkan informasi akuntansi yang berdasar pada data.
Akuntansi merupakan aktivitas analisa dan inteprestasi berdasarkan pada data informasi akuntansi.Semakin berkembanganya sistem pembukuan dan akuntansi, Indonesia Seiring dengan perkembangan, pembukuan kemudian ditinggalkan. Di Indonesia, perusahaan kemudian banyak menerapkan sistem akuntansi Anglo Saxon yang asalnya dari Amerika. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa kondisi:
  • Tahun 1957, Terjadi peristiwa konfrontasi Irian Barat yang melibatkan negara Indonesia dan Belanda sehingga berakibat seluruh pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda ditarik kembali dan dapat melanjutkan studinya kembali diberbagai negara, termasuk diantaranya Amerika Serikat.
  • Orang orang yang memiliki peran dalam perkembangan akuntansi di Indonesia sebagian besar menyelesaikan pendidikannya di Amerika yang kemudian membawa sistem akuntansi Anglo Saxon untuk diterapkan di Indonesia. Dan pada akhirnya sistem ini mendominasi penggunaannya dibandingkan sistem akuntansi kontinental di Indonesia.
  • Penanaman Modal Asing atau PMA memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan akuntansi khususnya sistem akuntansi Anglo Saxon.
Pada era sekarang ini Akuntansi sudah sangat pesat berkembang dan mendapat perhatian khusus dari suatu bisnis serta keuangan global. Segala keputusan yang bersumber dari informasi akuntansi, serta pengetahuan terkait isu-isu dalam akuntansi internasional bahkan menjadi hal yang penting untuk mendapatkan intepretasi dan pemahaman yang tepat dalam komunikasi bisnis internasional.


Rabu, 22 Juli 2020

CONTOH SURAT KETERANGAN SEHAT DARI WABAH COVID-19



مؤسسة  دارالتـقوى  المعهد الإسلامي السلفي غالاه
PONDOK PESANTREN NGALAH

NSPP: 510035140166
Jl. Pesantren Ngalah No.16 Sengonagung Purwosari Pasuruan 67162 PO BOX 04 Jatim
Telephone / Faksimile. 0343 - 611250 (Pusat) http://ngalah.net
 


SURAT KETERANGAN
Nomor: 1441/PPN/C/083/25/09

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                     :       
Alamat                   :
Selaku                   : (RT  /  RW  /  KASUN )
No. HP                   :

Menerangkan dengan sebenar-benarnya bahwa warga kami :

Nama                     :
Umur                     :
Jenis Kelamin          :
Nama Orang Tua     :
                               
Yang merupakan santri Pondok Pesantren Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan tidak dalam kategori ODP (orang dalam pantauan) atau PDP (pasien dalam pengawasan) Covid-19.

Demikian Surat Keterangan ini dibuat, untuk diketahui dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

                                                              Dikeluarkan di         : ………………….,
                                                              Pada Tanggal           : …………………….
                            
Tertanda,
                                                                    

                  
                                                                   

                                                                   (_______________________)
              RT/RW/Kasun


NB: Surat Keterangan ini hanya untuk Pondok Pesantren Ngalah

Selasa, 07 Juli 2020

Cerpen Indonesia Tak Ada Dalam Dada Ibuku

INDONESIA TAK ADA DALAM DADA IBUKU


                Sejak dulu, Ibu tidak pernah mengajariku tentang nasionalisme. Dari kecil, sekuat mungkin Ibu menanamkan kebencian di dalam hatiku pada negeriku sendiri. Saat teman-temanku riang mengikuti lomba tujuh belas agustusan, aku justru mendekam di kamar dengan menangis sesenggukan karena tidak diberi izin. Hingga usiaku genap lima belas tahun, aku tidak pernah tahu alasannya. Ibu selalu marah saat aku bertanya, sementara Ayah tetap dalam kebungkamannya.
            Siapapun tidak akan menyangka seberapa besar kebencian Ibu pada negara ini. Aku ingat betul kejadian itu. Saat usiaku mungkin baru tujuh tahun, aku pernah menangis keras-keras di pasar. Alasannya sepele, Ibu tidak mau membelikan mainan murah berbentuk bendera merah putih yang aku inginkan. Sekalipun tangisanku menjadi sorotan orang-orang di sekitar kami saat itu, Ibu tetap pada pendiriannya. Dia justru segera menggendongku kasar lalu membawaku menjauh dari kios mainan. Umurku masih amat kecil saat itu. Maka, hal-hal seperti itu tidak membuatku merasa aneh pada tingkah Ibu yang kelewat benci.
            Saat aku kelas satu SMP, aku juga pernah nekat memancing kemarahan Ibu. Waktu itu aku jelas sudah bisa merasakan keanehan Ibu pada segala sesuatu yang menyangkut negara ini. Sepulang sekolah, aku tidak kembali ke rumah, melainkan pergi ke desa sebelah bersama teman-temanku. Di sanalah diadakan lomba memperingati HUT RI seminggu yang lalu. Aku tidak meminta izin pada Ayah ataupun Ibu. Jelas jawabannya pasti tidak boleh. Maka aku yang sudah merencanakannya memilih berangkat langsung dari sekolah, lebih aman. Meskipun aku tahu Ibu pasti akan mencariku. Kupikir, akibat yang kuperoleh hanyalah kemarahan Ibu sepulang sekolah nanti. Tapi aku ternyata salah besar. Ketika aku dan teman-temanku sedang asyik menertawakan kekalahan kami tadi, tiba-tiba saja tanganku sudah ditarik kasar oleh Ibu. Kulihat raut wajah Ibu yang menahan marah. Pegangannya di tanganku terasa amat sakit. Tapi aku hanya bisa menurut saat itu. Aku hanya menunduk karena aku sadar kami menjadi tontonan seluruh orang di balai desa saat itu. Di rumah, Ibu tidak mengatakan apapun hingga seminggu kemudian. Itulah bentuk kemarahan Ibu.

Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil

Usiaku sekarang genap tujuh belas tahun. Tidak bisa lagi kubendung rasa penasaranku pada kebencian Ibu yang kelewat batas pada negara ini. Malam ini, aku sengaja meminta Ibu menemaniku belajar. Ibu menurut saja, malah senang sekali karena biasanya aku malas sekali belajar. Maka, Ibu duduk di hadapanku, dipisah meja. Setelah membuka buku lain secara acak, aku beralih membuka buku sejarah. Kubuka halaman yang sudah kutandai kemarin. Halaman itu menampilkan teks proklamasi. Kemudian aku membacanya keras-keras. Belum selesai kubaca, aku sudah mendapat tamparan keras di pipiku. Lalu diikuti sumpah serapah dan makian bernada tinggi milik Ibu. Hatiku sakit. Selama ini, senakal apapun aku, tidak sekalipun aku pernah menerima kekerasan fisik dari Ayah maupun Ibu. Maka aku tidak lagi takut, justru menatap Ibu menantang. Aku balas berteriak, “KENAPA IBU BEGITU MEMBENCI NEGARA KITA, HAH?”

Baca Juga : Cerpen Tentang Fatimah

Ibu mengatupkan rahang emosi. Aku sempat melirik tangannya yang mengepal erat. “Kamu tidak akan paham, Ali! Negara ini hanya tabir kemunafikan! Isinya hanya laknat! Indonesia bukan negara kita! Cih, aku bahkan tidak sudi mengucapkan namanya.”
Aku menelan ludah. Tidak pernah kulihat raut Ibu yang seperti ini. Kemarahan dan kekecewaan bercampur dalam wajah penat itu. Tapi sebisa mungkin kupertahankan keberanian dalam dadaku ini. “Maka buat aku paham, Bu! Beri tahu aku alasannya! Selama tujuh belas tahun aku hidup, tidak sekalipun Ibu menyinggungnya. Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri atas kebencian Ibu pada negara ini!”
Ibu menggeleng cepat. “Tidak, tidak akan! Ibu tidak mau nasibmu sama sialnya dengan Ibu.”
Aku ikut menggeleng, sangsi. “Tidak, itu bukan alasannya. Aku tau Ibu hanya ingin menutupinya dariku. Aku sudah besar, Bu. Sudah waktunya aku mengerti alasan mengapa aku tidak pernah boleh mengikuti lomba tujuh belas agustusan. Sejak dulu aku menahan lidahku untuk bertanya. Maka malam ini, usiaku sudah genap tujuh belas tahun, sudah waktunya aku tau.”
“Tidak!”
Sontak mataku menatap Ibu nyalang, keberanianku membuncah. “Kenapa? Ibu takut kesalahan Ibu yang dulu aku ketahui? Sebenarnya siapa yang harusnya membenci? Ibu pada negara ini, atau negara ini pada Ibu?”
Plak. Ibu menamparku sekali lagi. Nyeri semakin menjalar di pipiku. Bisa kulihat tangan Ibu ikut bergetar. Matanya seperti menatap tidak percaya pada tangannya sendiri. Aku tidak peduli lagi. Hatiku amat sakit dan kecewa. Belum genap sejam Ibu sudah menamparku dua kali. Kupikir Ibu adalah orang yang paling menyayangiku. Ternyata tidak sama sekali. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku berbalik dan pergi ke kamarku. Aku sempat berpapasan dengan Ayah yang seperti baru pulang kerja. Masa bodoh, aku membanting pintu. Air mataku sudah bergumul di bawah mata sejak tadi. Seumur hidup, ini adalah pertengkaran terhebatku dengan Ibu.


Senin, 06 Juli 2020

Cerpen tentang Siti Fatimah


Harga Patang Puluhan Fatimah

Malam hampir melarut. Di luar samar-samar terdengar obrolan atau langkah-langkah santri. Sementara di rumah Fatimah sudah terasa amat sepi. Meski begitu, dia yakin Abah belum beranjak istirahat di jam-jam seperti ini. Oleh karenanya, Fatimah ingin menyampaikan maksudnya malam ini kepada Abah setelah memikirkannya berhari-hari.
            Pelan, Fatimah mengucap salam di depan pintu ruang kerja Abah. Tak lama terdengar suara berat Abah menjawabnya, lalu menyuruh masuk. Fatimah bergegas masuk dan duduk di atas kursi yang ada di hadapan Abah. Sementara Abah duduk di kursi putar dengan sebuah kitab kuning lusuh di tangannya. Mereka hanya terpisah oleh meja. Beberapa saat Fatimah sempat menatap ruangan itu. Rak kitab berjajar di setiap sisi ruangan menutupi hampir seluruh dinding. Sebenarnya dibanding ruang kerja, ruangan itu lebih tepat disebut ruang muthola’ah, tempat Abah mempelajari berbagai kitabnya.
            “Ada apa, Nduk?” tanya Abah sembari menutup kitab kuning di tangannya dan melepas kaca mata bacanya. Mengerti bahwa putrinya mungkin ingin berbicara.

Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil

            Tangan Fatimah bertaut di bawah meja. Dia gugup. Ini adalah pertama kali dia menyampaikan keinginannya. Selama ini, obrolannya dengan Abah hanya tentang perintah Abah dan anggukan kepala Fatimah, tidak lebih. Tapi kali ini Fatimah memberanikan diri. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan untuk keinginan terbesarnya. Dia menelan ludah sebelum berbicara.
            “Fatimah ingin patang puluhan di Kudus Romadhon ini, Bah.”
            Hening. Fatimah menunduk. Dia takut ucapannya membuat Abah marah. Dia menjadi sedikit menyesal memaksakan keinginannya sementara dia masih memiliki kewajiban disini.
            “Lalu siapa yang merawat umimu, Nduk?” Abah bertanya setelah beberapa saat terdiam.
            Fatimah menggigit bibir, merasa bersalah atas ucapannya. Tapi bagaimanapun dia terlanjur menyampaikannya.
            “Katanya Dik Ilmi tinggal di rumah Romadhon ini, Bah. Saya akan meminta tolong Dik Ilmi menggantikan saya selama saya riyadhohan nanti. Tapi... tapi jika Abah tidak mengizinkan, saya tidak akan berangkat, Bah. Saya sungguhan tidak apa-apa. Mungkin bisa tahun depan” lirih Fatimah.
            “Setoran Al-Qur’anmu sama Abah sudah selesai, ya?” Bukannya menjawab, Abah justru melontarkan pertanyaan lain.
            “Inggih, Abah.”
            “Ya sudah, kamu siap-siap saja. Nanti, sehari sebelum Romadhon biar Abah antar.”
            Setelah lama menunduk, Fatimah akhirnya mendongak, menatap Abah tidak percaya. “Abah mengizinkan? Abah tidak marah?”
            Senyum wibawa tercetak di wajah Abah. “Kenapa Abah harus marah? Kamu itu putri Abah yang paling neriman,Nduk.Ngak pernah minta apa-apa. Semua saudarimu mondok tapi kamu ngalah buat merawat umimu. Kamu kan cuma patang puluhan untuk melancarkan hafalanmu, kenapa Abah tidak mengizinkan?”
            Fatimah tersenyum lega. Hatinya senang bukan kepalang. Akhirnya keinginannya terwujud. Dari dulu dia memang sangat ingin mengikuti patang puluhan setelah mendengar cerita-cerita itu dari saudari-saudarinya. Selama ini dia hanya diam karena tidak mungkin meninggalkan Umi yang sakit.
            Usai bersalaman pada Abah, Fatimah pamit keluar. Abah lebih dulu berpesan agar Fatimah mengatakannya pada Umi dan adiknya, Ilmi. Fatimah mengganguk semangat. Abah tertawa kecil melihatnya. Hatinya juga ikut lega. Akhirnya putrinya yang paling dikasihnya itu bisa tersenyum bahagia seperti sekarang.
            “Sudah pamitan sama Umi?”
            Setelah menyuruh seorang santri untuk memasukkan kopernya dan memanaskan mobil, Abah berjalan beriringan dengan Fatimah kembali ke dalam rumah. Mendengar pertanyaan Abah, Fatimah menggeleng pelan. Dia belum berpamitan pada Umi meski sudah membicarakan soal ini waktu itu. Sesungguhnya, saat-saat inilah yang sejak semalam membuatnya kepikiran. Hatinya berteriak tidak tega meninggalkan Umi.
            Langkah pelan Fatimah membawanya ke kamar Umi, sebuah ruangan agak luas tempatnya menghabiskan hampir seluruh waktunya selama empat tahun belakangan ini. Dilihatnya Umi yang selalu terbaring. Penyakit stroke yang diderita Umi membuat beliau akhirnya hanya bisa berbaring diatas kasur sejak empat tahun lalu dengan kondisi yang buruk.
            Fatimah mendekat dan duduk bersimpuh di sebelah ranjang Umi. Umi tersenyum teduh, lalu dengan suara kecil Umi berkata “Cantik sekali, Nduk. Sudah mau berangkat?”
            Seketika mata Fatimah terasa panas. Inilah yang membuatnya khawatir semalaman. Seingin apapun Fatimah pada patang puluhan, tidak bisa dia singkirkan rasa berat hati meninggalkan Umi. Merawat Umi selama empat tahun tanpa henti membuatnya merasa sangat berat meninggalkan Umi. Bagaimana kalau adiknya tidak tahu cara merawat umi? Atau tidak sengaja dia membentak sebab tidak sabar? Bagaimana jika disana Fatimah justru kepikiran Umi? Dan... bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Umi? Semua ketakutan memenuhi hati dan pikiran Fatimah. Air matanya merebak.
            “Inggih, Umi. Saya mau berangkat. Saya mau pamitan sama Umi.”
            Melihat putrinya menangis, senyum Umi terasa kian meneduh. “Iya, Nduk. Tak izinkan. Umi ndak papa. Jadi, kamu harus patang puluhan dengan tenang disana. Ndak usah sampai kepikiran Umi. Umi ndak mau merusak riyadhohmu.”
            Fatimah mengangguk. Air matanya turun deras. Mengingat segala kemungkinan buruk yang akan terjadi selama dia pergi. Kemungkinan terburuk itu harus ia selesaikan sekarang juga meski sesungguhnya dia tidak kuasa membicarakannya. Rasanya seluruh oksigen di sekitarnya tersedot. Napasnya tercekat. Dia berbicara di sela-sela isakannya.
            “Umi,” panggilnya. “Seandainya... seandainya nanti saat Fatimah riyadhohan, lalu... ternyata Umi di-dipanggil Allah, Fatimah min-ta maaf. Fatimah sungguh minta maaf. Fatimah ti-tidak bisa pulang. Fatimah tidak akan bisa datang di... di pemakaman Umi. Fatimah minta ridho Umiiii...”
            Tangis Fatimah sudah tidak terkendali lagi. Rasa sakit dan ketakutan di hatinya menyiksanya. Seolah dadanya dihimpit batu besar sehingga membuatnya sulit bernafas. Langkahnya akan sangat berat tanpa ridho Umi nanti. Maka dia memintanya sekarang sebelum semuanya terlambat.
            Umi juga menangis. Pipi dan bantalnya basah oleh air mata. Di sela isakannya, Umi mengangguk. Dibelainya kepala putrinya dengan sayang. Tak ada yang tahu akankah ini yang terakhir untuknya. “Iya, Nduk, iya. Umi ridho. Umi ridho sama kamu. Seandainya sewaktu-waktu Umi memang dipanggil Allah, Umi ridho kamu tidak datang di hari pemakaman Umi nanti. Ndak apa-apa, Nduk. Umi akan sangat bangga jika kamu lebih memilih riyadhohmu. Ndak usah khawatir sama Umi. Umi sungguhan ridho, Sayang. Umi ridho.”
            Tangis keduanya pecah. Fatimah menelungkupkan kepalanya di lengan Umi. Keduanya sama-sama tahu, ada kemungkinan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ajal di tangan Allah dan tidak ada yang tahu. Dan hal itu membuat keduanya berat berpisah dengan membawa luka yang sama.
            Di pintu, Abah berdiri. Tidak menangis, tapi hatinya kacau. Melihat istri dan putrinya menangis sementara beliau tidak bisa melakukan apapun, membuat beliau merasa tidak pantas menjadi seorang suami dan ayah.
            Setelah lama menangis, Fatimah mendongak dan menoleh ke arah pintu. Menyadari Abah disana menunggunya, Fatimah berat hati beranjak berdiri. Diraihnya tangan Umi dan diciumnya lama. Umi kembali tersenyum teduh, seolah menegaskan pada Fatimah bahwa beliau tidak perlu dikhawatirkan.
            “Fatimah pamit, Umi” lirihnya.
            “Iya, Nduk. Ingat pesan Umi, pasrahkan semuanya sama Allah.”
            “Inggih, Umi. Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikum salam.”
            Langkah Fatimah terasa berat keluar dari kamar Umi. Tapi inilah langkahnya. Ini bukan semata keinginannya, tapi juga keinginan Umi. Sepanjang jalan, Fatimah menata hatinya. Berusaha mengikhlaskan segalanya dan memasrahkan semuanya pada Allah, seperti kata Umi.
***
            Sembari menatap langit malam, Fatimah termenung di serambi rumahnya. Al-Qur’an di tangannya hanya terbuka tanpa sempat terbaca. Teralihkan oleh kenangan-kenangan yang terputar jelas di otaknya. Malam ini tepat malam keempat puluh kepergian Umi. Tapi semua ingatan tentang Umi seolah sangat betah mendekam dalam otak. Tidak teralihkan meski sejenak. Fatimah sudah berusaha mengikhlaskan. Tapi tetap saja ia selalu menangis tiap malam. Sajadahnya basah oleh tangis kerinduan. Kenangannya bersama Umi selalu menikamnya tiap detik. Fatimah tidak pernah tahu bahwa merelakan akan sesulit ini.
            “Nduk. Belum tidur?”
            Sapaan dan usapan lembut Abah di kepala menyadarkan Fatimah dari lamunan. Setetes air mata tidak sengaja jatuh dan segera ia usap. Tapi itu tak luput dari penglihatan Abah. Seketika ngilu merambat di hati beliau.
            Abah mengambil duduk di sebelah Fatimah. Gadis itu segera menutup Al-Qur’annya dan meletakkannya di atas  kusen jendela, tahu bahwa Abah akan berbicara.
            “Malam ini, kamu harus tahu mengapa Abah memberimu nama Fatimah Az-Zahra.”
            Fatimah menoleh. Sebelah tangan Abah merangkul pundaknya dengan mata menerawang ke atas seakan semua gambaran masa lalu terputar disana.
            “Karena Abah ingin kamu menjadi putri Abah yang sabar dan tegar, seperti Fatimah Az-Zahra.” ucap Abah dengan suara serak. “Dan setiap kali Abah melihatmu, Abah yakin doa Abah dikabulkan Allah. Ketika ketiga saudarimu senang mondok di pesantren-pesantren, kamu justru mengalah untuk merawat umimu dan menghafalkan Al-Qur’an di rumah. Empat tahun, Nduk. Empat tahun kamu sabar merawat umimu dan tidak pernah iri pada saudari-saudarimu. Kamu adalah putri Abah yang paling sabar dan tegar, Nduk. Abah selalu bangga punya kamu.”
            Setetes air mata jatuh di pipi Fatimah, disusul tetes-tetes lain yang semakin deras. Ucapan Abah membuat hatinya terasa tidak karuan. Antara sedih, sakit, dan sesak bercampur menjadi satu. Dia terisak.
 “Fatimah juga menangis di hari wafatnya Rasulullah, Abah” lirihnya.
Terjadi hening cukup lama. Fatimah menunduk. hingga tiba-tiba setetes air mata jatuh membasahi baju kokoh Abah. Itu bukan air mata Fatimah, melainkan air mata Abah. Seketika Fatimah tertegun. Selama ini, Fatimah selalu menganggap Abah adalah orang yang paling tenang dan tegar dalam menghadapi apapun. Tapi sekarang, Fatimah tahu Abah menangis, dan itu karena membahas tentang Umi. Apa kepergian Umi sebegitu menyakitkan untuk Abah?
“Rasulullah juga menangis di hari wafatnya Khadijah, Nduk” lirih Abah kemudian.
Seketika tangis Fatimah pecah dalam dekapan Abah. Seolah dia memiliki teman yang juga merasakan luka yang sama. Sejak kepergian Umi, semua orang di rumahnya tidak pernah sekalipun berbagi keluh kesah. Mereka menyimpan dukanya masing-masing, karena mereka sama-sama tahu bahwa setiap orang juga merakan duka yang sama. Mereka hanya diam. Tapi malam ini, dengan menangis bersama Abah, membuatnya paham, bahwa dia tidak pernah sendirian.