Harga Patang Puluhan Fatimah
Malam hampir melarut. Di luar samar-samar terdengar obrolan atau
langkah-langkah santri. Sementara di rumah Fatimah sudah terasa amat sepi.
Meski begitu, dia yakin Abah belum beranjak istirahat di jam-jam seperti ini.
Oleh karenanya, Fatimah ingin menyampaikan maksudnya malam ini kepada Abah
setelah memikirkannya berhari-hari.
Pelan, Fatimah
mengucap salam di depan pintu ruang kerja Abah. Tak lama terdengar suara berat
Abah menjawabnya, lalu menyuruh masuk. Fatimah bergegas masuk dan duduk di atas
kursi yang ada di hadapan Abah. Sementara Abah duduk di kursi putar dengan
sebuah kitab kuning lusuh di tangannya. Mereka hanya terpisah oleh meja.
Beberapa saat Fatimah sempat menatap ruangan itu. Rak kitab berjajar di setiap
sisi ruangan menutupi hampir seluruh dinding. Sebenarnya dibanding ruang kerja,
ruangan itu lebih tepat disebut ruang muthola’ah, tempat Abah
mempelajari berbagai kitabnya.
“Ada apa, Nduk?”
tanya Abah sembari menutup kitab kuning di tangannya dan melepas kaca mata
bacanya. Mengerti bahwa putrinya mungkin ingin berbicara.
Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil
Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil
Tangan Fatimah
bertaut di bawah meja. Dia gugup. Ini adalah pertama kali dia menyampaikan
keinginannya. Selama ini, obrolannya dengan Abah hanya tentang perintah Abah
dan anggukan kepala Fatimah, tidak lebih. Tapi kali ini Fatimah memberanikan
diri. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan untuk keinginan terbesarnya. Dia
menelan ludah sebelum berbicara.
“Fatimah ingin patang
puluhan di Kudus Romadhon ini, Bah.”
Hening. Fatimah
menunduk. Dia takut ucapannya membuat Abah marah. Dia menjadi sedikit menyesal
memaksakan keinginannya sementara dia masih memiliki kewajiban disini.
“Lalu siapa yang
merawat umimu, Nduk?” Abah bertanya setelah beberapa saat terdiam.
Fatimah menggigit
bibir, merasa bersalah atas ucapannya. Tapi bagaimanapun dia terlanjur
menyampaikannya.
“Katanya Dik Ilmi
tinggal di rumah Romadhon ini, Bah. Saya akan meminta tolong Dik Ilmi
menggantikan saya selama saya riyadhohan nanti. Tapi... tapi jika Abah
tidak mengizinkan, saya tidak akan berangkat, Bah. Saya sungguhan tidak
apa-apa. Mungkin bisa tahun depan” lirih Fatimah.
“Setoran
Al-Qur’anmu sama Abah sudah selesai, ya?” Bukannya menjawab, Abah justru
melontarkan pertanyaan lain.
“Inggih, Abah.”
“Ya sudah, kamu
siap-siap saja. Nanti, sehari sebelum Romadhon biar Abah antar.”
Setelah lama
menunduk, Fatimah akhirnya mendongak, menatap Abah tidak percaya. “Abah
mengizinkan? Abah tidak marah?”
Senyum wibawa
tercetak di wajah Abah. “Kenapa Abah harus marah? Kamu itu putri Abah yang
paling neriman,Nduk.Ngak pernah minta apa-apa. Semua saudarimu mondok
tapi kamu ngalah buat merawat umimu. Kamu kan cuma patang puluhan untuk
melancarkan hafalanmu, kenapa Abah tidak mengizinkan?”
Fatimah tersenyum
lega. Hatinya senang bukan kepalang. Akhirnya keinginannya terwujud. Dari dulu
dia memang sangat ingin mengikuti patang puluhan setelah mendengar
cerita-cerita itu dari saudari-saudarinya. Selama ini dia hanya diam karena
tidak mungkin meninggalkan Umi yang sakit.
Usai bersalaman
pada Abah, Fatimah pamit keluar. Abah lebih dulu berpesan agar Fatimah
mengatakannya pada Umi dan adiknya, Ilmi. Fatimah mengganguk semangat. Abah
tertawa kecil melihatnya. Hatinya juga ikut lega. Akhirnya putrinya yang paling
dikasihnya itu bisa tersenyum bahagia seperti sekarang.
“Sudah pamitan
sama Umi?”
Setelah menyuruh
seorang santri untuk memasukkan kopernya dan memanaskan mobil, Abah berjalan
beriringan dengan Fatimah kembali ke dalam rumah. Mendengar pertanyaan Abah,
Fatimah menggeleng pelan. Dia belum berpamitan pada Umi meski sudah
membicarakan soal ini waktu itu. Sesungguhnya, saat-saat inilah yang sejak
semalam membuatnya kepikiran. Hatinya berteriak tidak tega meninggalkan Umi.
Langkah pelan
Fatimah membawanya ke kamar Umi, sebuah ruangan agak luas tempatnya
menghabiskan hampir seluruh waktunya selama empat tahun belakangan ini.
Dilihatnya Umi yang selalu terbaring. Penyakit stroke yang diderita Umi
membuat beliau akhirnya hanya bisa berbaring diatas kasur sejak empat tahun
lalu dengan kondisi yang buruk.
Fatimah mendekat
dan duduk bersimpuh di sebelah ranjang Umi. Umi tersenyum teduh, lalu dengan
suara kecil Umi berkata “Cantik sekali, Nduk. Sudah mau berangkat?”
Seketika mata
Fatimah terasa panas. Inilah yang membuatnya khawatir semalaman. Seingin apapun
Fatimah pada patang puluhan, tidak bisa dia singkirkan rasa berat hati
meninggalkan Umi. Merawat Umi selama empat tahun tanpa henti membuatnya merasa
sangat berat meninggalkan Umi. Bagaimana kalau adiknya tidak tahu cara merawat
umi? Atau tidak sengaja dia membentak sebab tidak sabar? Bagaimana jika disana
Fatimah justru kepikiran Umi? Dan... bagaimana jika ini adalah pertemuan
terakhirnya dengan Umi? Semua ketakutan memenuhi hati dan pikiran Fatimah. Air
matanya merebak.
“Inggih, Umi. Saya
mau berangkat. Saya mau pamitan sama Umi.”
Melihat putrinya
menangis, senyum Umi terasa kian meneduh. “Iya, Nduk. Tak izinkan. Umi ndak
papa. Jadi, kamu harus patang puluhan dengan tenang disana. Ndak usah
sampai kepikiran Umi. Umi ndak mau merusak riyadhohmu.”
Fatimah
mengangguk. Air matanya turun deras. Mengingat segala kemungkinan buruk yang
akan terjadi selama dia pergi. Kemungkinan terburuk itu harus ia selesaikan
sekarang juga meski sesungguhnya dia tidak kuasa membicarakannya. Rasanya
seluruh oksigen di sekitarnya tersedot. Napasnya tercekat. Dia berbicara di
sela-sela isakannya.
“Umi,” panggilnya.
“Seandainya... seandainya nanti saat Fatimah riyadhohan, lalu... ternyata Umi
di-dipanggil Allah, Fatimah min-ta maaf. Fatimah sungguh minta maaf. Fatimah
ti-tidak bisa pulang. Fatimah tidak akan bisa datang di... di pemakaman Umi.
Fatimah minta ridho Umiiii...”
Tangis Fatimah
sudah tidak terkendali lagi. Rasa sakit dan ketakutan di hatinya menyiksanya.
Seolah dadanya dihimpit batu besar sehingga membuatnya sulit bernafas.
Langkahnya akan sangat berat tanpa ridho Umi nanti. Maka dia memintanya
sekarang sebelum semuanya terlambat.
Umi juga menangis.
Pipi dan bantalnya basah oleh air mata. Di sela isakannya, Umi mengangguk.
Dibelainya kepala putrinya dengan sayang. Tak ada yang tahu akankah ini yang
terakhir untuknya. “Iya, Nduk, iya. Umi ridho. Umi ridho sama kamu. Seandainya
sewaktu-waktu Umi memang dipanggil Allah, Umi ridho kamu tidak datang di hari
pemakaman Umi nanti. Ndak apa-apa, Nduk. Umi akan sangat bangga jika kamu lebih
memilih riyadhohmu. Ndak usah khawatir sama Umi. Umi sungguhan ridho, Sayang.
Umi ridho.”
Tangis keduanya
pecah. Fatimah menelungkupkan kepalanya di lengan Umi. Keduanya sama-sama tahu,
ada kemungkinan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ajal di tangan
Allah dan tidak ada yang tahu. Dan hal itu membuat keduanya berat berpisah
dengan membawa luka yang sama.
Di pintu, Abah
berdiri. Tidak menangis, tapi hatinya kacau. Melihat istri dan putrinya
menangis sementara beliau tidak bisa melakukan apapun, membuat beliau merasa
tidak pantas menjadi seorang suami dan ayah.
Setelah lama
menangis, Fatimah mendongak dan menoleh ke arah pintu. Menyadari Abah disana
menunggunya, Fatimah berat hati beranjak berdiri. Diraihnya tangan Umi dan
diciumnya lama. Umi kembali tersenyum teduh, seolah menegaskan pada Fatimah
bahwa beliau tidak perlu dikhawatirkan.
“Fatimah pamit,
Umi” lirihnya.
“Iya, Nduk. Ingat
pesan Umi, pasrahkan semuanya sama Allah.”
“Inggih, Umi.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam.”
Langkah Fatimah
terasa berat keluar dari kamar Umi. Tapi inilah langkahnya. Ini bukan semata
keinginannya, tapi juga keinginan Umi. Sepanjang jalan, Fatimah menata hatinya.
Berusaha mengikhlaskan segalanya dan memasrahkan semuanya pada Allah, seperti
kata Umi.
***
Sembari menatap
langit malam, Fatimah termenung di serambi rumahnya. Al-Qur’an di tangannya
hanya terbuka tanpa sempat terbaca. Teralihkan oleh kenangan-kenangan yang
terputar jelas di otaknya. Malam ini tepat malam keempat puluh kepergian Umi.
Tapi semua ingatan tentang Umi seolah sangat betah mendekam dalam otak. Tidak
teralihkan meski sejenak. Fatimah sudah berusaha mengikhlaskan. Tapi tetap saja
ia selalu menangis tiap malam. Sajadahnya basah oleh tangis kerinduan.
Kenangannya bersama Umi selalu menikamnya tiap detik. Fatimah tidak pernah tahu
bahwa merelakan akan sesulit ini.
“Nduk. Belum
tidur?”
Sapaan dan usapan
lembut Abah di kepala menyadarkan Fatimah dari lamunan. Setetes air mata tidak
sengaja jatuh dan segera ia usap. Tapi itu tak luput dari penglihatan Abah.
Seketika ngilu merambat di hati beliau.
Abah mengambil
duduk di sebelah Fatimah. Gadis itu segera menutup Al-Qur’annya dan
meletakkannya di atas kusen jendela,
tahu bahwa Abah akan berbicara.
“Malam ini, kamu
harus tahu mengapa Abah memberimu nama Fatimah Az-Zahra.”
Fatimah menoleh.
Sebelah tangan Abah merangkul pundaknya dengan mata menerawang ke atas seakan
semua gambaran masa lalu terputar disana.
“Karena Abah ingin
kamu menjadi putri Abah yang sabar dan tegar, seperti Fatimah Az-Zahra.” ucap
Abah dengan suara serak. “Dan setiap kali Abah melihatmu, Abah yakin doa Abah
dikabulkan Allah. Ketika ketiga saudarimu senang mondok di
pesantren-pesantren, kamu justru mengalah untuk merawat umimu dan menghafalkan
Al-Qur’an di rumah. Empat tahun, Nduk. Empat tahun kamu sabar merawat umimu dan
tidak pernah iri pada saudari-saudarimu. Kamu adalah putri Abah yang paling
sabar dan tegar, Nduk. Abah selalu bangga punya kamu.”
Setetes air mata
jatuh di pipi Fatimah, disusul tetes-tetes lain yang semakin deras. Ucapan Abah
membuat hatinya terasa tidak karuan. Antara sedih, sakit, dan sesak bercampur
menjadi satu. Dia terisak.
“Fatimah juga menangis di
hari wafatnya Rasulullah, Abah” lirihnya.
Terjadi hening cukup lama. Fatimah menunduk. hingga tiba-tiba
setetes air mata jatuh membasahi baju kokoh Abah. Itu bukan air mata Fatimah,
melainkan air mata Abah. Seketika Fatimah tertegun. Selama ini, Fatimah selalu
menganggap Abah adalah orang yang paling tenang dan tegar dalam menghadapi
apapun. Tapi sekarang, Fatimah tahu Abah menangis, dan itu karena membahas
tentang Umi. Apa kepergian Umi sebegitu menyakitkan untuk Abah?
“Rasulullah juga menangis di hari wafatnya Khadijah, Nduk” lirih
Abah kemudian.
Seketika tangis Fatimah pecah dalam dekapan Abah. Seolah dia
memiliki teman yang juga merasakan luka yang sama. Sejak kepergian Umi, semua orang
di rumahnya tidak pernah sekalipun berbagi keluh kesah. Mereka menyimpan
dukanya masing-masing, karena mereka sama-sama tahu bahwa setiap orang juga
merakan duka yang sama. Mereka hanya diam. Tapi malam ini, dengan menangis
bersama Abah, membuatnya paham, bahwa dia tidak pernah sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar