Tentang

------------ Selamat datang di Blog kami yang sederhana ini ------------ SEMOGA BERMANFAAT. --- Identitas Pemilik Blog ------ Nama : Afif Fuaidi ------ Alamat Rumah : Payaman - Andonosari - Nongkojajar - Pasuruan ------ Facebook : Afif Fuaidi bin Mahfudz ------ Instagram : Apiep_5 (Afif Fuaidi) ---

Senin, 06 Juli 2020

Cerpen tentang Siti Fatimah


Harga Patang Puluhan Fatimah

Malam hampir melarut. Di luar samar-samar terdengar obrolan atau langkah-langkah santri. Sementara di rumah Fatimah sudah terasa amat sepi. Meski begitu, dia yakin Abah belum beranjak istirahat di jam-jam seperti ini. Oleh karenanya, Fatimah ingin menyampaikan maksudnya malam ini kepada Abah setelah memikirkannya berhari-hari.
            Pelan, Fatimah mengucap salam di depan pintu ruang kerja Abah. Tak lama terdengar suara berat Abah menjawabnya, lalu menyuruh masuk. Fatimah bergegas masuk dan duduk di atas kursi yang ada di hadapan Abah. Sementara Abah duduk di kursi putar dengan sebuah kitab kuning lusuh di tangannya. Mereka hanya terpisah oleh meja. Beberapa saat Fatimah sempat menatap ruangan itu. Rak kitab berjajar di setiap sisi ruangan menutupi hampir seluruh dinding. Sebenarnya dibanding ruang kerja, ruangan itu lebih tepat disebut ruang muthola’ah, tempat Abah mempelajari berbagai kitabnya.
            “Ada apa, Nduk?” tanya Abah sembari menutup kitab kuning di tangannya dan melepas kaca mata bacanya. Mengerti bahwa putrinya mungkin ingin berbicara.

Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil

            Tangan Fatimah bertaut di bawah meja. Dia gugup. Ini adalah pertama kali dia menyampaikan keinginannya. Selama ini, obrolannya dengan Abah hanya tentang perintah Abah dan anggukan kepala Fatimah, tidak lebih. Tapi kali ini Fatimah memberanikan diri. Mungkin inilah satu-satunya kesempatan untuk keinginan terbesarnya. Dia menelan ludah sebelum berbicara.
            “Fatimah ingin patang puluhan di Kudus Romadhon ini, Bah.”
            Hening. Fatimah menunduk. Dia takut ucapannya membuat Abah marah. Dia menjadi sedikit menyesal memaksakan keinginannya sementara dia masih memiliki kewajiban disini.
            “Lalu siapa yang merawat umimu, Nduk?” Abah bertanya setelah beberapa saat terdiam.
            Fatimah menggigit bibir, merasa bersalah atas ucapannya. Tapi bagaimanapun dia terlanjur menyampaikannya.
            “Katanya Dik Ilmi tinggal di rumah Romadhon ini, Bah. Saya akan meminta tolong Dik Ilmi menggantikan saya selama saya riyadhohan nanti. Tapi... tapi jika Abah tidak mengizinkan, saya tidak akan berangkat, Bah. Saya sungguhan tidak apa-apa. Mungkin bisa tahun depan” lirih Fatimah.
            “Setoran Al-Qur’anmu sama Abah sudah selesai, ya?” Bukannya menjawab, Abah justru melontarkan pertanyaan lain.
            “Inggih, Abah.”
            “Ya sudah, kamu siap-siap saja. Nanti, sehari sebelum Romadhon biar Abah antar.”
            Setelah lama menunduk, Fatimah akhirnya mendongak, menatap Abah tidak percaya. “Abah mengizinkan? Abah tidak marah?”
            Senyum wibawa tercetak di wajah Abah. “Kenapa Abah harus marah? Kamu itu putri Abah yang paling neriman,Nduk.Ngak pernah minta apa-apa. Semua saudarimu mondok tapi kamu ngalah buat merawat umimu. Kamu kan cuma patang puluhan untuk melancarkan hafalanmu, kenapa Abah tidak mengizinkan?”
            Fatimah tersenyum lega. Hatinya senang bukan kepalang. Akhirnya keinginannya terwujud. Dari dulu dia memang sangat ingin mengikuti patang puluhan setelah mendengar cerita-cerita itu dari saudari-saudarinya. Selama ini dia hanya diam karena tidak mungkin meninggalkan Umi yang sakit.
            Usai bersalaman pada Abah, Fatimah pamit keluar. Abah lebih dulu berpesan agar Fatimah mengatakannya pada Umi dan adiknya, Ilmi. Fatimah mengganguk semangat. Abah tertawa kecil melihatnya. Hatinya juga ikut lega. Akhirnya putrinya yang paling dikasihnya itu bisa tersenyum bahagia seperti sekarang.
            “Sudah pamitan sama Umi?”
            Setelah menyuruh seorang santri untuk memasukkan kopernya dan memanaskan mobil, Abah berjalan beriringan dengan Fatimah kembali ke dalam rumah. Mendengar pertanyaan Abah, Fatimah menggeleng pelan. Dia belum berpamitan pada Umi meski sudah membicarakan soal ini waktu itu. Sesungguhnya, saat-saat inilah yang sejak semalam membuatnya kepikiran. Hatinya berteriak tidak tega meninggalkan Umi.
            Langkah pelan Fatimah membawanya ke kamar Umi, sebuah ruangan agak luas tempatnya menghabiskan hampir seluruh waktunya selama empat tahun belakangan ini. Dilihatnya Umi yang selalu terbaring. Penyakit stroke yang diderita Umi membuat beliau akhirnya hanya bisa berbaring diatas kasur sejak empat tahun lalu dengan kondisi yang buruk.
            Fatimah mendekat dan duduk bersimpuh di sebelah ranjang Umi. Umi tersenyum teduh, lalu dengan suara kecil Umi berkata “Cantik sekali, Nduk. Sudah mau berangkat?”
            Seketika mata Fatimah terasa panas. Inilah yang membuatnya khawatir semalaman. Seingin apapun Fatimah pada patang puluhan, tidak bisa dia singkirkan rasa berat hati meninggalkan Umi. Merawat Umi selama empat tahun tanpa henti membuatnya merasa sangat berat meninggalkan Umi. Bagaimana kalau adiknya tidak tahu cara merawat umi? Atau tidak sengaja dia membentak sebab tidak sabar? Bagaimana jika disana Fatimah justru kepikiran Umi? Dan... bagaimana jika ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Umi? Semua ketakutan memenuhi hati dan pikiran Fatimah. Air matanya merebak.
            “Inggih, Umi. Saya mau berangkat. Saya mau pamitan sama Umi.”
            Melihat putrinya menangis, senyum Umi terasa kian meneduh. “Iya, Nduk. Tak izinkan. Umi ndak papa. Jadi, kamu harus patang puluhan dengan tenang disana. Ndak usah sampai kepikiran Umi. Umi ndak mau merusak riyadhohmu.”
            Fatimah mengangguk. Air matanya turun deras. Mengingat segala kemungkinan buruk yang akan terjadi selama dia pergi. Kemungkinan terburuk itu harus ia selesaikan sekarang juga meski sesungguhnya dia tidak kuasa membicarakannya. Rasanya seluruh oksigen di sekitarnya tersedot. Napasnya tercekat. Dia berbicara di sela-sela isakannya.
            “Umi,” panggilnya. “Seandainya... seandainya nanti saat Fatimah riyadhohan, lalu... ternyata Umi di-dipanggil Allah, Fatimah min-ta maaf. Fatimah sungguh minta maaf. Fatimah ti-tidak bisa pulang. Fatimah tidak akan bisa datang di... di pemakaman Umi. Fatimah minta ridho Umiiii...”
            Tangis Fatimah sudah tidak terkendali lagi. Rasa sakit dan ketakutan di hatinya menyiksanya. Seolah dadanya dihimpit batu besar sehingga membuatnya sulit bernafas. Langkahnya akan sangat berat tanpa ridho Umi nanti. Maka dia memintanya sekarang sebelum semuanya terlambat.
            Umi juga menangis. Pipi dan bantalnya basah oleh air mata. Di sela isakannya, Umi mengangguk. Dibelainya kepala putrinya dengan sayang. Tak ada yang tahu akankah ini yang terakhir untuknya. “Iya, Nduk, iya. Umi ridho. Umi ridho sama kamu. Seandainya sewaktu-waktu Umi memang dipanggil Allah, Umi ridho kamu tidak datang di hari pemakaman Umi nanti. Ndak apa-apa, Nduk. Umi akan sangat bangga jika kamu lebih memilih riyadhohmu. Ndak usah khawatir sama Umi. Umi sungguhan ridho, Sayang. Umi ridho.”
            Tangis keduanya pecah. Fatimah menelungkupkan kepalanya di lengan Umi. Keduanya sama-sama tahu, ada kemungkinan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Ajal di tangan Allah dan tidak ada yang tahu. Dan hal itu membuat keduanya berat berpisah dengan membawa luka yang sama.
            Di pintu, Abah berdiri. Tidak menangis, tapi hatinya kacau. Melihat istri dan putrinya menangis sementara beliau tidak bisa melakukan apapun, membuat beliau merasa tidak pantas menjadi seorang suami dan ayah.
            Setelah lama menangis, Fatimah mendongak dan menoleh ke arah pintu. Menyadari Abah disana menunggunya, Fatimah berat hati beranjak berdiri. Diraihnya tangan Umi dan diciumnya lama. Umi kembali tersenyum teduh, seolah menegaskan pada Fatimah bahwa beliau tidak perlu dikhawatirkan.
            “Fatimah pamit, Umi” lirihnya.
            “Iya, Nduk. Ingat pesan Umi, pasrahkan semuanya sama Allah.”
            “Inggih, Umi. Assalamu’alaikum.”
            “Wa’alaikum salam.”
            Langkah Fatimah terasa berat keluar dari kamar Umi. Tapi inilah langkahnya. Ini bukan semata keinginannya, tapi juga keinginan Umi. Sepanjang jalan, Fatimah menata hatinya. Berusaha mengikhlaskan segalanya dan memasrahkan semuanya pada Allah, seperti kata Umi.
***
            Sembari menatap langit malam, Fatimah termenung di serambi rumahnya. Al-Qur’an di tangannya hanya terbuka tanpa sempat terbaca. Teralihkan oleh kenangan-kenangan yang terputar jelas di otaknya. Malam ini tepat malam keempat puluh kepergian Umi. Tapi semua ingatan tentang Umi seolah sangat betah mendekam dalam otak. Tidak teralihkan meski sejenak. Fatimah sudah berusaha mengikhlaskan. Tapi tetap saja ia selalu menangis tiap malam. Sajadahnya basah oleh tangis kerinduan. Kenangannya bersama Umi selalu menikamnya tiap detik. Fatimah tidak pernah tahu bahwa merelakan akan sesulit ini.
            “Nduk. Belum tidur?”
            Sapaan dan usapan lembut Abah di kepala menyadarkan Fatimah dari lamunan. Setetes air mata tidak sengaja jatuh dan segera ia usap. Tapi itu tak luput dari penglihatan Abah. Seketika ngilu merambat di hati beliau.
            Abah mengambil duduk di sebelah Fatimah. Gadis itu segera menutup Al-Qur’annya dan meletakkannya di atas  kusen jendela, tahu bahwa Abah akan berbicara.
            “Malam ini, kamu harus tahu mengapa Abah memberimu nama Fatimah Az-Zahra.”
            Fatimah menoleh. Sebelah tangan Abah merangkul pundaknya dengan mata menerawang ke atas seakan semua gambaran masa lalu terputar disana.
            “Karena Abah ingin kamu menjadi putri Abah yang sabar dan tegar, seperti Fatimah Az-Zahra.” ucap Abah dengan suara serak. “Dan setiap kali Abah melihatmu, Abah yakin doa Abah dikabulkan Allah. Ketika ketiga saudarimu senang mondok di pesantren-pesantren, kamu justru mengalah untuk merawat umimu dan menghafalkan Al-Qur’an di rumah. Empat tahun, Nduk. Empat tahun kamu sabar merawat umimu dan tidak pernah iri pada saudari-saudarimu. Kamu adalah putri Abah yang paling sabar dan tegar, Nduk. Abah selalu bangga punya kamu.”
            Setetes air mata jatuh di pipi Fatimah, disusul tetes-tetes lain yang semakin deras. Ucapan Abah membuat hatinya terasa tidak karuan. Antara sedih, sakit, dan sesak bercampur menjadi satu. Dia terisak.
 “Fatimah juga menangis di hari wafatnya Rasulullah, Abah” lirihnya.
Terjadi hening cukup lama. Fatimah menunduk. hingga tiba-tiba setetes air mata jatuh membasahi baju kokoh Abah. Itu bukan air mata Fatimah, melainkan air mata Abah. Seketika Fatimah tertegun. Selama ini, Fatimah selalu menganggap Abah adalah orang yang paling tenang dan tegar dalam menghadapi apapun. Tapi sekarang, Fatimah tahu Abah menangis, dan itu karena membahas tentang Umi. Apa kepergian Umi sebegitu menyakitkan untuk Abah?
“Rasulullah juga menangis di hari wafatnya Khadijah, Nduk” lirih Abah kemudian.
Seketika tangis Fatimah pecah dalam dekapan Abah. Seolah dia memiliki teman yang juga merasakan luka yang sama. Sejak kepergian Umi, semua orang di rumahnya tidak pernah sekalipun berbagi keluh kesah. Mereka menyimpan dukanya masing-masing, karena mereka sama-sama tahu bahwa setiap orang juga merakan duka yang sama. Mereka hanya diam. Tapi malam ini, dengan menangis bersama Abah, membuatnya paham, bahwa dia tidak pernah sendirian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar