Tentang

------------ Selamat datang di Blog kami yang sederhana ini ------------ SEMOGA BERMANFAAT. --- Identitas Pemilik Blog ------ Nama : Afif Fuaidi ------ Alamat Rumah : Payaman - Andonosari - Nongkojajar - Pasuruan ------ Facebook : Afif Fuaidi bin Mahfudz ------ Instagram : Apiep_5 (Afif Fuaidi) ---

Selasa, 07 Juli 2020

Cerpen Indonesia Tak Ada Dalam Dada Ibuku

INDONESIA TAK ADA DALAM DADA IBUKU


                Sejak dulu, Ibu tidak pernah mengajariku tentang nasionalisme. Dari kecil, sekuat mungkin Ibu menanamkan kebencian di dalam hatiku pada negeriku sendiri. Saat teman-temanku riang mengikuti lomba tujuh belas agustusan, aku justru mendekam di kamar dengan menangis sesenggukan karena tidak diberi izin. Hingga usiaku genap lima belas tahun, aku tidak pernah tahu alasannya. Ibu selalu marah saat aku bertanya, sementara Ayah tetap dalam kebungkamannya.
            Siapapun tidak akan menyangka seberapa besar kebencian Ibu pada negara ini. Aku ingat betul kejadian itu. Saat usiaku mungkin baru tujuh tahun, aku pernah menangis keras-keras di pasar. Alasannya sepele, Ibu tidak mau membelikan mainan murah berbentuk bendera merah putih yang aku inginkan. Sekalipun tangisanku menjadi sorotan orang-orang di sekitar kami saat itu, Ibu tetap pada pendiriannya. Dia justru segera menggendongku kasar lalu membawaku menjauh dari kios mainan. Umurku masih amat kecil saat itu. Maka, hal-hal seperti itu tidak membuatku merasa aneh pada tingkah Ibu yang kelewat benci.
            Saat aku kelas satu SMP, aku juga pernah nekat memancing kemarahan Ibu. Waktu itu aku jelas sudah bisa merasakan keanehan Ibu pada segala sesuatu yang menyangkut negara ini. Sepulang sekolah, aku tidak kembali ke rumah, melainkan pergi ke desa sebelah bersama teman-temanku. Di sanalah diadakan lomba memperingati HUT RI seminggu yang lalu. Aku tidak meminta izin pada Ayah ataupun Ibu. Jelas jawabannya pasti tidak boleh. Maka aku yang sudah merencanakannya memilih berangkat langsung dari sekolah, lebih aman. Meskipun aku tahu Ibu pasti akan mencariku. Kupikir, akibat yang kuperoleh hanyalah kemarahan Ibu sepulang sekolah nanti. Tapi aku ternyata salah besar. Ketika aku dan teman-temanku sedang asyik menertawakan kekalahan kami tadi, tiba-tiba saja tanganku sudah ditarik kasar oleh Ibu. Kulihat raut wajah Ibu yang menahan marah. Pegangannya di tanganku terasa amat sakit. Tapi aku hanya bisa menurut saat itu. Aku hanya menunduk karena aku sadar kami menjadi tontonan seluruh orang di balai desa saat itu. Di rumah, Ibu tidak mengatakan apapun hingga seminggu kemudian. Itulah bentuk kemarahan Ibu.

Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil

Usiaku sekarang genap tujuh belas tahun. Tidak bisa lagi kubendung rasa penasaranku pada kebencian Ibu yang kelewat batas pada negara ini. Malam ini, aku sengaja meminta Ibu menemaniku belajar. Ibu menurut saja, malah senang sekali karena biasanya aku malas sekali belajar. Maka, Ibu duduk di hadapanku, dipisah meja. Setelah membuka buku lain secara acak, aku beralih membuka buku sejarah. Kubuka halaman yang sudah kutandai kemarin. Halaman itu menampilkan teks proklamasi. Kemudian aku membacanya keras-keras. Belum selesai kubaca, aku sudah mendapat tamparan keras di pipiku. Lalu diikuti sumpah serapah dan makian bernada tinggi milik Ibu. Hatiku sakit. Selama ini, senakal apapun aku, tidak sekalipun aku pernah menerima kekerasan fisik dari Ayah maupun Ibu. Maka aku tidak lagi takut, justru menatap Ibu menantang. Aku balas berteriak, “KENAPA IBU BEGITU MEMBENCI NEGARA KITA, HAH?”

Baca Juga : Cerpen Tentang Fatimah

Ibu mengatupkan rahang emosi. Aku sempat melirik tangannya yang mengepal erat. “Kamu tidak akan paham, Ali! Negara ini hanya tabir kemunafikan! Isinya hanya laknat! Indonesia bukan negara kita! Cih, aku bahkan tidak sudi mengucapkan namanya.”
Aku menelan ludah. Tidak pernah kulihat raut Ibu yang seperti ini. Kemarahan dan kekecewaan bercampur dalam wajah penat itu. Tapi sebisa mungkin kupertahankan keberanian dalam dadaku ini. “Maka buat aku paham, Bu! Beri tahu aku alasannya! Selama tujuh belas tahun aku hidup, tidak sekalipun Ibu menyinggungnya. Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri atas kebencian Ibu pada negara ini!”
Ibu menggeleng cepat. “Tidak, tidak akan! Ibu tidak mau nasibmu sama sialnya dengan Ibu.”
Aku ikut menggeleng, sangsi. “Tidak, itu bukan alasannya. Aku tau Ibu hanya ingin menutupinya dariku. Aku sudah besar, Bu. Sudah waktunya aku mengerti alasan mengapa aku tidak pernah boleh mengikuti lomba tujuh belas agustusan. Sejak dulu aku menahan lidahku untuk bertanya. Maka malam ini, usiaku sudah genap tujuh belas tahun, sudah waktunya aku tau.”
“Tidak!”
Sontak mataku menatap Ibu nyalang, keberanianku membuncah. “Kenapa? Ibu takut kesalahan Ibu yang dulu aku ketahui? Sebenarnya siapa yang harusnya membenci? Ibu pada negara ini, atau negara ini pada Ibu?”
Plak. Ibu menamparku sekali lagi. Nyeri semakin menjalar di pipiku. Bisa kulihat tangan Ibu ikut bergetar. Matanya seperti menatap tidak percaya pada tangannya sendiri. Aku tidak peduli lagi. Hatiku amat sakit dan kecewa. Belum genap sejam Ibu sudah menamparku dua kali. Kupikir Ibu adalah orang yang paling menyayangiku. Ternyata tidak sama sekali. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku berbalik dan pergi ke kamarku. Aku sempat berpapasan dengan Ayah yang seperti baru pulang kerja. Masa bodoh, aku membanting pintu. Air mataku sudah bergumul di bawah mata sejak tadi. Seumur hidup, ini adalah pertengkaran terhebatku dengan Ibu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar