INDONESIA TAK ADA DALAM DADA IBUKU
Sejak dulu, Ibu tidak pernah mengajariku tentang nasionalisme. Dari
kecil, sekuat mungkin Ibu menanamkan kebencian di dalam hatiku pada negeriku
sendiri. Saat teman-temanku riang mengikuti lomba tujuh belas agustusan, aku
justru mendekam di kamar dengan menangis sesenggukan karena tidak diberi izin.
Hingga usiaku genap lima belas tahun, aku tidak pernah tahu alasannya. Ibu
selalu marah saat aku bertanya, sementara Ayah tetap dalam kebungkamannya.
Siapapun tidak akan menyangka
seberapa besar kebencian Ibu pada negara ini. Aku ingat betul kejadian itu.
Saat usiaku mungkin baru tujuh tahun, aku pernah menangis keras-keras di pasar.
Alasannya sepele, Ibu tidak mau membelikan mainan murah berbentuk bendera merah
putih yang aku inginkan. Sekalipun tangisanku menjadi sorotan orang-orang di
sekitar kami saat itu, Ibu tetap pada pendiriannya. Dia justru segera
menggendongku kasar lalu membawaku menjauh dari kios mainan. Umurku masih amat
kecil saat itu. Maka, hal-hal seperti itu tidak membuatku merasa aneh pada tingkah
Ibu yang kelewat benci.
Saat aku kelas satu SMP, aku juga
pernah nekat memancing kemarahan Ibu. Waktu itu aku jelas sudah bisa merasakan
keanehan Ibu pada segala sesuatu yang menyangkut negara ini. Sepulang sekolah,
aku tidak kembali ke rumah, melainkan pergi ke desa sebelah bersama
teman-temanku. Di sanalah diadakan lomba memperingati HUT RI seminggu yang
lalu. Aku tidak meminta izin pada Ayah ataupun Ibu. Jelas jawabannya pasti
tidak boleh. Maka aku yang sudah merencanakannya memilih berangkat langsung
dari sekolah, lebih aman. Meskipun aku tahu Ibu pasti akan mencariku. Kupikir,
akibat yang kuperoleh hanyalah kemarahan Ibu sepulang sekolah nanti. Tapi aku
ternyata salah besar. Ketika aku dan teman-temanku sedang asyik menertawakan
kekalahan kami tadi, tiba-tiba saja tanganku sudah ditarik kasar oleh Ibu.
Kulihat raut wajah Ibu yang menahan marah. Pegangannya di tanganku terasa amat
sakit. Tapi aku hanya bisa menurut saat itu. Aku hanya menunduk karena aku
sadar kami menjadi tontonan seluruh orang di balai desa saat itu. Di rumah, Ibu
tidak mengatakan apapun hingga seminggu kemudian. Itulah bentuk kemarahan Ibu.
Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil
Baca Juga : Bisnis Tanpa Akuntansi Seperti Tanpa Hasil
Usiaku
sekarang genap tujuh belas tahun. Tidak bisa lagi kubendung rasa penasaranku
pada kebencian Ibu yang kelewat batas pada negara ini. Malam ini, aku sengaja
meminta Ibu menemaniku belajar. Ibu menurut saja, malah senang sekali karena
biasanya aku malas sekali belajar. Maka, Ibu duduk di hadapanku, dipisah meja.
Setelah membuka buku lain secara acak, aku beralih membuka buku sejarah. Kubuka
halaman yang sudah kutandai kemarin. Halaman itu menampilkan teks proklamasi.
Kemudian aku membacanya keras-keras. Belum selesai kubaca, aku sudah mendapat
tamparan keras di pipiku. Lalu diikuti sumpah serapah dan makian bernada tinggi
milik Ibu. Hatiku sakit. Selama ini, senakal apapun aku, tidak sekalipun aku
pernah menerima kekerasan fisik dari Ayah maupun Ibu. Maka aku tidak lagi
takut, justru menatap Ibu menantang. Aku balas berteriak, “KENAPA IBU BEGITU
MEMBENCI NEGARA KITA, HAH?”
Baca Juga : Cerpen Tentang Fatimah
Baca Juga : Cerpen Tentang Fatimah
Ibu mengatupkan
rahang emosi. Aku sempat melirik tangannya yang mengepal erat. “Kamu tidak akan
paham, Ali! Negara ini hanya tabir kemunafikan! Isinya hanya laknat! Indonesia
bukan negara kita! Cih, aku bahkan tidak sudi mengucapkan namanya.”
Aku menelan
ludah. Tidak pernah kulihat raut Ibu yang seperti ini. Kemarahan dan kekecewaan
bercampur dalam wajah penat itu. Tapi sebisa mungkin kupertahankan keberanian
dalam dadaku ini. “Maka buat aku paham, Bu! Beri tahu aku alasannya! Selama
tujuh belas tahun aku hidup, tidak sekalipun Ibu menyinggungnya. Aku selalu
bertanya-tanya pada diriku sendiri atas kebencian Ibu pada negara ini!”
Ibu menggeleng
cepat. “Tidak, tidak akan! Ibu tidak mau nasibmu sama sialnya dengan Ibu.”
Aku ikut
menggeleng, sangsi. “Tidak, itu bukan alasannya. Aku tau Ibu hanya ingin
menutupinya dariku. Aku sudah besar, Bu. Sudah waktunya aku mengerti alasan
mengapa aku tidak pernah boleh mengikuti lomba tujuh belas agustusan. Sejak
dulu aku menahan lidahku untuk bertanya. Maka malam ini, usiaku sudah genap
tujuh belas tahun, sudah waktunya aku tau.”
“Tidak!”
Sontak mataku
menatap Ibu nyalang, keberanianku membuncah. “Kenapa? Ibu takut kesalahan Ibu
yang dulu aku ketahui? Sebenarnya siapa yang harusnya membenci? Ibu pada negara
ini, atau negara ini pada Ibu?”
Plak. Ibu menamparku sekali lagi. Nyeri semakin menjalar di pipiku.
Bisa kulihat tangan Ibu ikut bergetar. Matanya seperti menatap tidak percaya
pada tangannya sendiri. Aku tidak peduli lagi. Hatiku amat sakit dan kecewa.
Belum genap sejam Ibu sudah menamparku dua kali. Kupikir Ibu adalah orang yang
paling menyayangiku. Ternyata tidak sama sekali. Tanpa mengatakan sepatah kata
pun, aku berbalik dan pergi ke kamarku. Aku sempat berpapasan dengan Ayah yang
seperti baru pulang kerja. Masa bodoh, aku membanting pintu. Air mataku sudah
bergumul di bawah mata sejak tadi. Seumur hidup, ini adalah pertengkaran
terhebatku dengan Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar