Pelangi Hitam Putih
Setiap
pasang mata mengawasi langkah Alvany dengan bisik-bisik tak nyaman yang sampai
ke telinga Alvany. Beberapa bahkan menghentikan aktivitas untuk menatap Alvany.
Dengan kepala yang terus ditundukkan dan langkah cepat Alvany hanya bisa
berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh sambil menaiki tangga yang berada
di samping halaman sekolah.
Betapa
menyebalkan sore ini dan hari-hari sebalumnya bagi Alvany, mendapat tatapan tak
menyenangkan dari temannya ditambah lagi harus mengikuti latihan bersama guru
melukisnya yang menyebalkan.
Alvany
sampai di anak tangga paling atas, ia melangkah ke kiri. Suara langkahnya
menggema di sepanjang koridor yang sepi. Di ujung koridor itu tersusun beberapa
kursi dan meja kecil. Tempat itu cukup luas, dengan dinding yang hanya setinggi
pinggang sehingga pemandangan sekolah dapat terlihat dengan jelas. Terlihat
seorang wanita tua berbaju merah marun duduk di salah satu kursi, wanita itu
terlihat kesal.
“Terlambat lagi Alvany?” seru wanita itu
tegas.
Alvany tak menjawab. Percuma. Karena tak akan ada alasan yang mampu melunkkan
hati wanita itu.
Alvany
segera menarik kursi terdekat, mengambil kuas lalu menuangkan cat dengan
tulisan biru disisinya. Wanita itu mendengus, tapi Alvany masih tidak peduli.
Angin sesukanya meniup wajah Alvany, membuat rambut yang sejak tadi menutupi
wajahnya tersibak. Langit terlihat cerah tak sama dengan wajah Alvany.
Dan
seperti inilah latihan dimulai. Selanjutnya hanya ada cerita yang sama terulang
dari sang guru melukis. Tentang karya terbaik muridnya tahun lalu yang
menjuarai perlombaan nasional. Dan sang guru bercerita dengan sombongnya,
terkadang begitu merendahkan Alvany. Alvany tahu tidak semua orang bisa
menerima kekurangannya. Tapi ia masih dapat bertahan karena dukungan
sahabatnya.
Latihan
berakhir dua jam kemudian dengan nilai “lumayan” dari gurunya. Ini adalah
latihan terakhirnya untuk mengikuti lomba melukis tingkat nasional besok.
Alvany meninggalkan galeri melukis dengan berlari. Baru saja ia melihat wajah
yang tak asing baginya.
“Feli,” Alvany
memenggilnya saat sudah berjarak tak jauh dari sahabatnya itu.
Feli yang mendengar panggilan itu segera berlari tanpa menoleh. Alvany bingung
mendapatkan perlakuan itu dari sahabatnya. Sekencang mungkin ia berlari
menyusul sahabatnya. Akhirnya Feli berhenti saat Alvany berhasil meraih
tangannya.
“Lepaskan aku Al, jangan ganggu aku lagi!”
Seketika Alvany merasa beku mendengar bentakkan itu.
“Apakah belum cukup kamu membuatku malu di depan samua orang?”
Alvany tidak mengerti apa yang dibicarakan Feli. Tangannya masih memegang
lengan Feli dengan kuat. Apakah pendengarannya sudah mulai kacau? Apa yang
membuat Feli, sahabat terbaiknya yang selama ini selalu mendukung dan
menghiburnya berkata seperti itu?
“Kamu tidak pernah memikirkan
perasaanku. Salama ini kamu tidak sadar kan. Aku lelah mendapat ejekan dari
semua orang karena membelamu, karena kekuranganmu. Seharusnya kamu tidak
menerima tawaran untuk mengikuti lomba itu sehingga tidak menambah ejekan atau
sindiran dari orang-orang. Benar kata mereka kamu tidak akan menang karena
kekuranganmu. Tidak akan menang Al, menyerahlah dan akui bahwa kamu memang
tidak bisa.” Feli menarik tangannya dan berlari meninggalkanku.
Sekolah
sudah sepi, hanya Alvany yang tersisa bersama gema langkah Feli yang mengiringi
turunnya air matanya. Dengan langkah gontai Alvany kembali ke galeri melukis,
memikirkan kata-kata Feli. Sekejam itukah ia. Langit sore disiram sinar mentari
memberikan kesedihan tersendiri bagi Alvany saat ini. Siapa lagi orang yang
akan menyemangatinya setelah Feli pergi.
Saat
Alvany memutuskan untuk mengundurkan diri dan memeinta maaf pada Feli suara
petikan gitar mulai terdengar bersama gemerisik daun, terus mengalun indah.
Setiap petikan senarnya menghantarkan getaran ke hati Alvany, seperti mencoba
untuk menguatkan hatinya. Lalu sebuah lagu mulai dinyanyikan. Suara itu lembut
membisikkan semangat di telinga Alvany. Angin bertiup lebih kencang menjatuhkan
dau kering dari pohonnya, dan lagu itu berakhir.
Alvany
masih berada di posisi awal, matanya kosong menatap daun-daun yang berguguran.
Alvany mamutar badannya tapi tidak mendapati siapapun di sana. Siapa orang
itu?. Lalu Alvany kembali menatap langit dalam hati ia berkata “Mungkin itu
hanya khayalanku saja”.
Alvany
gugup melihat kanvas dan cat minyak di hadapannya. Tapi ia tidak akan takut
lagi. Ia memjamkan matanya dan menarik napas panjang, mencari ketenangan.
Mengingat petikan senar dan nyanyian merdu di galeri melukis. Sehelai warna
muncul diantara kegelapan, lalu muncul lagi warna lain bagai seribu pelangi.
Pelangi itu penuh warna, mengagumkan.
Alvany membuka matanya
tapi tidak menemukan warna pelangi itu lagi, tapi ia melihat sebuah harapan
yang semakin berkilau. Dengan senyum di wajahnya ia menggenggam kuas erat dan
mulai terjun ke imajinasinya. Ia tak peduli lagi pada latihannya. Ia membiarkan
tangannya menari di atas kanvas.
Alvany
menaiki tangga menuju ujung koridor lantai dua sekolahnya. Galeri melukis. Ia
menatap langit senja hari itu. Ia telah berhasil membuktikan bahwa anggapan
semua orang padanya selama ini salah. Kekurangannya bukanlah halangan untuk
berkarya. Alvany melukis pelangi di hidupnya saat mengikuti perlombaan itu dan
ia mendapat juara terbaik. Ia ingin menunjukkan bahwa kehidupannya juga
terlihat indah walaupun hanya ada tiga warna, yaitu hitam, putih, dan abu-abu.
Ya, itulah warna yang dapat Alvany lihat karena ia memiliki penyakit buta
warna.
Daun
bergerak ditiup angin, burung terbang tinggi di langit. Disinilah Alvany
mendapatkan harapan baru yang mengubah hidupnya. Ia tidak pernah tahu dari mana
asal lagu itu. Dan ia mulai bernyanyi sendiri.
Meski dalam masa yang
sulit
Dengam senyum maka tersadar
Dunia ini akan hidup kembali
Waktu yang kita habiskan bersama
Serta keajaiban yang tercipta
Yang ingin kulihat hanyalah senyummu
Dan memiliki corak warna indahmu di dalam duniaku
Yang terus menghias dan mengalir dalam kenangan
Yang ingin kudengar hanyalah suaramu
Dan merasakan getarannya dalam ragaku
Dan seseorang yang
berdiri di belakangnya terseyum manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar