RINDU BUMI
(Oleh : An Nisa’ Hayatun Nufus)
Memang
benar apa yang orang katakan. Karma itu ada. Karena mungkin, kini aku
sedang menjalani itu semua, sebuah takdir bertemakan karma yang telah di
turunkan oleh Tuhan untukku.
Di bawah redupnya sinar rembulan, antara angin-angin yang berhembus
kencang, dan guyuran air hujan, aku terduduk lesu dengan rambut tergerai yang
kini sudah dibuat berantakan oleh ulah hujan. Aku sedang berusaha untuk
menyembunyikan air mataku yang turun bersama hujan yang membasahi bumi.
Terdapat sebuah kue, dengan gambar sepasang kekasih dan bertuliskan Happy
Anniversary di depanku. Tapi kini, kue itu telah hancur oleh tetes-tetes
air mata langit,seperti halnya hatiku yang kini hancur melihat sepasang kekasih
yang sedang berpelukan mesra di depan sebuah minimarket. Mereka pun juga saling
melontarkan perkataan-perkataan yang bisa membuat hati meloncat-loncat
kegirangan.
---***---
Kenalkan,
aku Fanya. Aku termasuk salah seorang remaja yang sangat menyukai dunia luar.
Aku sering pergi ke club, nongkrong bersama teman-temanku yang kebanyakan cowok
di cafe hingga larut malam, sampai tak jarang aku menginap di sebuah club yang
biasa aku kunjungi bersama dengan seorang kekasihku, Adit.
Aku
terlahir dari keluarga yang berada. Ayahku seorang pengusaha tembang emas dan
ibuku desaigner terkenal. Mereka sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Hingga melupakan anak semata wayangnya yang haus akan kasih sayang kedua orang
tuanya. Aku membenci mereka, sungguh. Jikalau dulu aku bisa memilih, lebih baik
aku dilahirkan dari keluarga yang sederhana namun selalu hangat dan penuh
dengan kasih sayang.
Tak
ada yang mencariku ketika aku tak pulang ke rumah. Tak ada yang menanyaiku
ketika aku pulang dengan tubuh yang berjalan sempoyongan dan mulut yang terus
saja meracau tak jelas. Tak ada yang peduli denganku ketika aku pulang ke rumah
dengan rambut serta baju yang berantakan. Hingga aku selalu mencari cara agar
bisa mendapatkan perhatian kedua orang tuaku, meski seujung jari pun.
Aku
semakin sering pulang di pagi hari ke rumah, menginap bersama Adit di club
tempat biasa aku dan Adit tidur bersama. Biar saja, biar mereka mencariku.
Namun, realita tak sesuai ekspektasi. Mereka tetap dengan kesibukannya. Hingga
aku memilih jalan satu-satunya untuk bisa mendapat perhatian dari mereka.
------***------
Akhir-akhir
ini, aku jarang sekali keluar rumah. Adit yang malah sering main ke rumah. Aku
jadi selalu menonton film drakor saat malam tiba. Hingga tak jarang, aku
meminta Adit untuk tidur bersamaku. Aku jadi ingin selalu dimanja oleh Adit,
selalu ingin berada di samping Adit, sampai sutu kali aku pernah menangisi Adit
hanya karena ia tak jadi ke rumahku karena hari itu kakaknya sedang
melangsungkan sebuah ikatan suci pernikahan.
Aku
pun sudah tak punya nafsu makan, jika bukan Adit yang menyuapiku. Karena aku
selalu merasa mual saat makanan-makanan itu mulai memasuki rongga mulutku.
Hingga saat Adit tak jadi pergi ke rumahku karena kakaknya yang sedang menikah,
aku tak mau makan seharian. Hingga keesokan harinya, Adit baru mengunjungiku.
Dia merasakan badanku panas. Karena khawatir, akhirnya dia menelfon dokter
Alina, dokter pribadi keluargaku.
Tak
perlu waktu lama, dokter Alina pun telah berada di hadapanku. Setelah
diperiksa, beliau berkata, “yang banyak istirahat ya, Fan. Kandungan kamu tuh masih
lemah, masih tiga minggu. Makan makanan yang bergizi. Jangan dulu ngelakuin
hal-hal yang berat yang bisa membahayakan janin kamu. Selamat, ya..”
Aku
tak percaya apa yang dikatakan oleh dokter Alina tadi. Aku hamil?!
---***---
Saat
aku sedang asik-asyiknya menonton film drakor, tiba-tiba pintu kamarku
di dobrak keras oleh seseorang. Aku yang terkejut segera menoleh ke arah sumber
suara dan merubah posisiku yang awalnya tidur-tiduran menjadi duduk. Di sana,
sudah ada ayah dengan wajah merah padamnya yang sangat tercetak jelas di kulit
ayah yang putih serta ibu yang menggenggam erat tangan ayah. Ayah langsung saja
masuk dan berhenti di hadapanku.
“Benar,
kau hamil, Fan!?” sentak ayah padaku. Ibu yang sedari tadi menggenggam erat
erat tangan ayah, kini beralih mendekatiku dan mengelus lembut lenganku. Aku
mengerti, ibu menyuruhku untuk mengatakan yang sejujurnya.
“Iya.
Maaf, yah,” aku tak berani menatap ayahku.
“Kau
benar-benar memalukan, Fan! Kau memalukan ayah. Kau memalukan marga kita, marga
Saumanila! Kau tahu? Ayah memberimu kebebasan, bukan karena ayah tak sayang
padamu, tapi karena ayah tau kau pasti bisa menjaga diri. Dan ternyata, ayah
salah. Kau tak bisa menjaga anak kebanggan ayah.Kau bukan lagi anak ayah!” kata
ayah dengan nada tinggi.
“Dari
dulu, ayah pun juga tak pernah menganggapku anak. Ayah tak pernah memiliki
waktu untukku barang sedikitpun. Ayah selalu sibuk dengan urusan ayah sendiri.
Aku seperti karena ayah! Jika ayah selalu menyayangiku, selalu berada di
sampingku, selalu menguatkanku ketika aku jatuh, aku tak akan jadi seperti ini,
yah! Ayah memang bukan ayahku!” kesalku pada ayah. Air mataku pun sudah sedari
tadi menetes dengan derasnya.
“Kau!”
tatap marah ayahku dengan tangannya yang akan segera mendarat di pipi putihku.
Namun, ibu dengan sigap mencegah ayah untuk melakukan hal itu.
“Ayah
mau tampar aku? Tampar, yah! Aku gak peduli. Tampar! Aku memang pantas mendapatkannya,”
aku tertunduk lesu mengatakan hal itu.
“Baiklah.
Kalau begitu, suruh pacarmu itu kemari. Menikahlah dengannya lalu pergilah
bersamanya. Jangan pernah menampakkan tubuh najismu itu lagi di hadapanku!”
Setelah
ayah mengatakan hal itu, beliau langsung menarik tangan ibu dan membawanya
keluar dari kamarku, meninggalkan aku dengan hati yang sudah tak lagi berbentuk,
hancur lebur terbawa oleh angin. Bahkan mungkin, kini aku sudah tak lagi punya
hati, karena hatiku telah dihancurkan oleh ayah kandungku sendiri.
---***---
Sudah
lebih dari tujuh bulan ini aku tinggal di sebuah kost yang dekat dengan
pekerjaan suamiku.disini, aku betul-betul merenengi perbuatanku yang dulu. Aku
menyesal. Seharusnya aku tak seperti itu pada ayah. Seharusnya aku minta maaf
pada ayah, tapi rasa gengsi sudah terlalu besar. Seharusnya aku berbakti pada
mereka, bukan malah menyusahkan mereka seperti ini. Seharusnya aku mengerti
kenapa mereka tak pernah ada waktu untukku. Seharusnya dulu aku tak menganggap
mereka tak menyayangiku.
Namun,
mereka pun juga tak pernah menengokku semenjak aku menginjakkan kaki di
kontrakan ini. Ternyata, kejadian ini pun juga tak membuat mereka sadar bahwa
aku sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari mereka.
Tapi,
satu hal yang membuatku bertahan sampai sejauh ini. Mas Luky, suamiku yang
selalu menyayangiku. Dia tetap menjadi seorang yang selalu harapkan. Meski hidup
ini pas-pasan karena dia pun juga bekerja sebagai seorang satpam di sebuah
perusahaan, tapi aku lebih nyaman dengan hidupku yang sekarang ini, penuh
dengan rasa kasih sayang.
Hingga
dua bulan berlalu,
“Mas,
perutku sakit, mas. Sakit banget,” keluhku pada mas Luky yang sedang tidur di
sampingku.
“Sakit?
Ya udah, kalau gitu, kita ke rumah sakit, ya? Aku pinjam mobil dulu sama pak
RT,” ucapnya khawatir.
Setelah
mobil pak RT datang, aku segera dibopong keluar oleh mas Luky untuk segera
memasuki mobil, meninggalkan kontrakan menuju rumah sakit.
---***---
“Fiuuh,,
akhirnya selesai juga” ucapku seraya mengelap peluh di keningku setelah
sebelumnya aku membersihkan rumah. Mulai dari masak untuk mas Luky sebelum ia
berangkat kerja, menyapu, mengepel, cuci-cuci piring serta pakaianku, mas Luky
dan Zahra, buah hatiku dan mas Luky. Aku pun beristirahat sejenak di atas sofa
ruang tamu. Pikiranku kembali melayang pada sikap mas Luky yang entah kenapa
mulai berubah.
Akhir-akhir ini, aku merasa mas Luky sedikit banyak berubah. Dia
tak lagi menciumku ketika akan berangkat kerja, tak lagi memelukku saat tidur,
dan tak lagi bersikap manja padaku. Dia pun juga sering pulang larut malam,
bahkan pernah suatu kali ia baru pulang saat fajar mulai menyingsing.
Sudah
tak terhitung berapa kali aku bertanya pada mas Luky setiap kali ia baru pulang
kerja, “kenapa baru pulang, mas?”. Pasti jawabannya, “lembur.
Yaudah, aku capek. Aku mau tidur”.
Aku
selalu berusaha percaya pada perkataan mas Luky. Tapi, entah kenapa sebagian
kecil hatiku berkata bahwa mas Luky sedang tak jujur padaku. Aku selalu
berusaha meyakinkan hati kecilku bahwa tak akan ada sesuatu yang disembunyikan
olehnya. Tapi jika memang begitu, kenapa sikapnya berubah sekali terhadapku?
Sudahlah,
aku lelah memikirkannya. Lebih baik sekarang aku fokus mengurusi Zahra, pikirku.
Sudah tiga hari terakhir ini Zahra demam. Kata dokter, itu hanyalah demam
biasa, pasti gak lama lagi akan sembuh. Tapi, kenapa sampai empat hari ini
demam Zahra belum juga turun?
---***---
“Sudah
jam tujuh pagi, waktunya Zahra makan,” ucapku bersemangat setelah acara
bersih-bersih rumah. Aku segera melangkah menuju kamar Zahra.
Setelah aku berada persis di sampingnya, langsung saja ku letakkan
tangan kananku pada dahinya, berharap demam yang ada padanya segera turun. Dan alhamdulillah,
kini demamnya sudah menurun. Tapi, mengapa badannya malah sedingin ini?
Panik, aku langsung membawanya menuju klinik terdekat di desaku.
Setelah diperiksa, dokter itu berkata “yang sabar ya, bu. Mungkin ini cobaan
untuk ibu.”
Aku tak tau harus menjawab apa. Biarlah tetes demi tetes air mata
yang mewakilinya.
---***---
Satu
bulan berlalu semenjak kematian anakku, mas Luky semakin sering pulang saat
malam sudah larut. Selalu saja lembur alasannya. Dan hari ini, tepat pada
tanggal 12 Mei adalah Hari Anniversary satu tahun pernikahanku dan mas Luky.
Aku berencana ingin memberinya kejuatan malam nanti. Aku sudah belajar agar
bisa membuat kue sendiri, spesial untuk mas Luky.
Setelah
sholat isya’, aku segera menuju ke dapur, membuat kue spesial untuk suami
terspesial.
Satu
jam lewat empat puluh lima menit, kue yang ku buat sendiri untuk mas Luky sudah
jadi. Terdapat gambar seorang lelaki dengan setelan jas hitam dan seorang perempuan
yang memakai gaun indah sekali. Tak lupa, di atasnya telah ku tulis “Happy
Anniversary”.
Aku
segera meluncur menuju tempat mas Luky bekerja. Setelah sebelumnya aku
berdandan secantik mungkin agar nanti saat mas Luky melihatku, kadar cintanya
semakin berlipat ganda. Namun, malah yang ku dapat dari mas Luky bukan
senyuman, tetapi sebuah pengkhianatan.
Setelah
turun dari mobil abang go car, aku melihat mas Luky dan seorang wanita
sedang berpelukan mesra di depan minimarket dekat tempat kerjanya. Mereka
saling melontarkan kata-kata yang tidak pantas jika hanya disebut sebagai rekan
kerja. Melihat pemandangan yang seperti itu, seketika kue yang sudah
susah-susah ku buat, jatuh menimpa trotoar tempat aku berpijak. Bersamaan
dengan itu, tetes demi tetes air langit jatuh membasahi bumi. Rindu bumi
katanya.